Advertorial
Intisari-online.com -Kamis, 3/1/2020 tokoh militer nomor 2 paling penting di Iran, Qasem Soleimani telah terbunuh akibat serangan udara yang diluncurkan atas perintah Donald Trump.
Pembunuhan ini akan sangat berpengaruh terhadap stabilitas rezim Iran dan kemampuannya menangani operasi teroris dari luar.
Jenderal Qasem adalah tokoh yang tidak tergantikan, terkenal sebagai pemimpin kharismatik, tidak ada yang dapat menyamainya di antara komandan Iran lain.
Jenderal itu terlihat di mana-mana, baik itu Satuan Perang Iran yang dikirim ke Lebanon, Suriah, Irak, Afghanistan dan Yaman, ia selalu ikut serta.
Tercatat dalam sejarah selama awal kependudukan AS di Irak, dia menjadi dalang untuk menyukseskan pemerintahan Irak.
Tidak hanya memilih presiden dan perdana menteri, tetapi bertahun-tahun Jenderal Qasem mengatur boneka-bonekanya untuk duduk di kursi penting pemerintahan Irak
Boneka-bonekanya mengatur keputusan militer dan keuangan negara tetangganya itu.
Artinya, dia sudah menjadi pihak yang menyetir Irak.
Tidak hanya itu, Jenderal Qasem juga menyedot keuangan Irak dengan cara mengambil keuntungan 1% dari aliran uang yang didapat dari valuta mata asing yang masuk ke bank Irak.
Keuntungan 1% tersebut masuk ke dalam perusahaan keuangannya, dan mendapat keuntungan bersih 1 milyar dolar per bulan.
Dilansir dari nypost.com, dana itu ia gunakan untuk mendanai teror yang dia kembangkan.
Seorang mantan direktur CIA era Barrack Obama masih berkuasa, Jenderal David Petraeus menceritakan kisah tentang pesan teks yang ia terima dari Jenderal Qasem yang berpuncak di tahun 2008.
Pesan itu berbunyi seperti ini:
"Dear Jenderal Petraeus, kau harus tahu bahwa aku, Qassim Soleimani, mengatur kebijakan untuk Iran dan juga Irak, Lebanon, Gaza dan Afghanistan.
"Dan benar, diplomat di Baghdad adalah anggota Pasukan Quds.
"Orang yang akan menggantikannya juga anggota Pasukan Quds."
Staff Sersan Robert Barlett adalah satu dari beberapa ribu tentara AS yang terluka dari bom yang dikonstruksi dan digunakan untuk bom jalanan atau IED (Improvised explosive device) di Irak.
IED dibuat untuk membunuh tentara Amerika, dan dirancang dan dikirim ke kelompok teroris Irak oleh Jenderal Qasem.
Hanya dalam waktu 2 tahun dari 2005 sampai 2007, mereka merenggut nyawa 600 tentara militer Amerika di Irak.
Bom itu sangat mengerikan, dengan Robert Barlett merasa bom telah 'membelahnya menjadi 2 bagian dari atas kepala sampai rahangnya' dan juga membuatnya kehilangan salah satu kakinya.
Ia merasa telah meninggal 3 kali dalam waktu 5 hari, hanya keyakinannya yang membuatnya tetap hidup.
Tahun 2011, Jenderal Qasem dan orang-orangnya merekrut pengedar narkoba bernama Manssor Arbabsiar.
Manssor ditugaskan untuk membunuh diplomat Arab Saudi di Washington DC yang kala itu bertugas, Adel al- Jubeir.
Adel menjadi sasaran setelah membakar amarah Iran dengan mempublikasikan aksi terorisme mereka.
Manssor pergi bolak balik ke Teheran untuk bertemu rekan Jenderal Qasem dan menerima tugasnya serta bayarannya, lalu merekrut pengedar narkoba Meksiko untuk melakukan plot barbar yang diinginkan Iran.
Mengerikan, plot Iran rupanya adalah membunuh Adel saat ia makan siang di restoran yang ada di hotel Watergate.
Jika sukses, pembunuhan dengan pemboman itu dapat membunuh lebih dari 100 orang di tengah jantung ibukota Amerika Serikat, tetapi dikabarkan Jenderal Qasem tidak peduli dengan kerusakan tambahan yang dapat terjadi.
Namun beruntungnya plot tersebut gagal karena Manssor memilih pihak Meksiko yang salah, yaitu seseorang yang juga informan untuk pihak berwenang obat-obatan terlarang.
Beberapa tahun terakhir ini, Jenderal Qasem telah pergi berulang kali ke Suriah untuk mengawasi pembangunan jaringan militer dan markas intelijen.
Iran merencanakan menggunakan fasilitas tersebut untuk memperluas kehadirannya di perbatasan Israel.
Tentara Israel menyebut merindukan sosoknya yang ada saat serangan 2015 di markas Iran bertempat di provinsi Aleppo.
Mantan intelijen Iran menyebut keterlibatan Jenderal Qasem langsung saat perencanaan, pembiayaan dan arahannya dalam serangan teroris 11/9/2012 di fasilitas diplomatik Amerika dan fasilitas intelijen di Benghazi, Libya, saat 4 warga Amerika terbunuh.
Tujuan ia melakukannya adalah menghentikan invasi tentara AS dari kota Benghazi yang saat itu sedang menyisir untuk menghentikan kelompok jihad ISIS, dan agar Amerika keluar seutuhnya dari Libya.
Kedua tujuan tersebut berhasil ia laksanakan.
Teror mengerikannya yang berlangsung lebih lama daripada Osama bin Laden, menyebabkan Jenderal Qasem dan suporternya menganggap dia tidak terkalahkan.
Kematiannya oleh Amerika di hari Kamis akhirnya menghentikan aura 'tidak pernah kalahnya'.