Intisari-Online.com - Susi Pudjiastuti nampaknya tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berkomentar mengenai rencana kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Kebijakan yang dimaksud adalah membuka ekspor benih lobster yang sebelumnya justru dilarang oleh Susi.
Edhy sendiri sebenarnya mengaku bahwa dirinya pun berharap bahwa benih lobster tidak diekspor, melainkan dibudidayakan di Indonesia.
Namun, dia merasa bahwa Indonesia belum memiliki infrastruktur yang mumpuni untuk melakukan budidaya tersebut.
Berangkat dari inilah, Edhy akhirnya menganalogikan ekspor benih lobster dengan ekspor nikel.
Seperti diketahui, Indonesia membuka ekspor bijih nikel pada 2016 karena tidak ada fasilitas untuk mengelolanya menjadi nikel murni.
Sebuah kebijakan yang akhirnya akan dihentikan oleh Indonesia pada 2020, namun mendapat reaksi keras dari Uni Eropa selaku importir.
Nah, analogi benih lobster dengan bijih nikel inilah yang akhirnya 'menyenggol' Susi Pudjiastuti hingga dirinya menjelaskan panjang lebar melalui akun Twitternya.
Melalui akun @susipudjiastuti, Susi dengan tegas menjelaskan bahwa nikel adan lobster tersebut berbeda.
Susi menjelaskan bahwa nikel bukanlah sumber daya alam (SDA) yang bisa diperbaharui.
Sementara, menurut Susi, lobster adalah SDA yang dapat diperbaharui, serta akan terus ada.
Sebagai SDA yang dapat dipebaharui, lobster akan menjadi semakin banyak jika terus dijaga.
Cuitan Susi tersebut bisa dianggap jelas-jelas merupakan bantahan kepada komentar Edhy Prabowo.
Sebab, dalam cuitan tersebut, Susi juga menyematkan tautan artikel terkait pernyataan Edhy Prabowo yang menyamakan lobster dengan nikel.
Nikel adalah SDA yg tidak renewable/ yg bisa habis. Lobster adalah SDA yg renewable, yg bisa terus ada & banyak kalau kita jaga!!!!!Menteri Edhy Samakan Kebijakan Ekspor Benih Lobster dengan Nikel - https://t.co/fqnRiWsdg1 https://t.co/pK2lM2DpJp
— Susi Pudjiastuti (@susipudjiastuti) December 17, 2019
Lebih lanjut, Susi pun menjelaskan mengenai Nikel yang tidak bisa bertambah banyak.
Ya, dalam penjelasan Susi, nikel bukanlah lobters yang bisa beranak pinak.
Namun, hal tersebut dapat terjadi jika kita, masyarakat Indonesia, menjaga habitatnya.
Dengan cara inilah Susi berharap bibit-bibit alias benih lobster dapat terus bertambah di alam.
Sehingga, menurut Susi, dapat dimanfaatkan sepanjang masa.
Nikel itu benda mati tidak bisa beranak pianak diambil akan habis. Lobster itu mahluk hidup bernyawa, berkembang biak/ beranak pianak. Kita jaga habitat& keberlanjutan bibit2nya di alam pasti Lobster itu akan tetap ada, banyak sepanjang masa untk kita ambil, makan & jual????????????????????????
— Susi Pudjiastuti (@susipudjiastuti) December 17, 2019
Susi kemudian memaparkan tentang posisi lobster sebagai SDA yang terbarukan.
Bagi Susi, lobster sangat mudah untuk ditangkap dengan alat pancing atau bubu milik para nelayan.
Namun, terkadang masih ada pengambilan lobster yang tidak perlu yang dilakukan oleh kapal besar yang menggunakan alat modern.
Untuk itulah, menurut Susi, pemerintah wajib melakukan cara terbaik untuk menjaga keberlangsungan hidup lobster-lobster tersebut.
Lobster itu SDA yg Reneawble. Salah satu dr sedikit SDA laut yg bisa diakses/ ditangkap dg mudah oleh pancing, bubu dr para nelayan kecil di pesisir. Pengambilan tidak perlu dg kapal besar/alat modern lainnya. Negara wajib menjaga sumber livelyhood nelayan kecil ini dg Benar&Baik
— Susi Pudjiastuti (@susipudjiastuti) December 17, 2019
Lebih lanjut, dalam cuitan berikutnya, Susi menekankan pentingnya pengelolaan SDA yang terbaharui, termasuk melakukan pelarangan pengambilan dalam wujud plasmanutfah seperti benih lobster.
"Its A NO NO!!" tulis Susi.
Sebab, gara-gara tidak adanya pelarangan tersebut, maka kini sangat sulit menemukan atau menangkan lobster dengan berat lebih dari 100 gram.
Hal ini terjadi di Pangandaran, Pelabuhan Ratu, Jogja Selatan, serta beberapa wilayah lain termasuk di Sumatera.
Pengelolaan SDA yg renewable secara instant extractive & massiv harus dilarang. Apalagi pengambilan plasmanutfahnya. Its A NO NO !! Sblm thn 2000 an Lobster ukuran >100 gram di Pangandaran & sekitarnya pd saat musim bisa 3 sd 5 Ton per hari. Sekarang 100 kg/ hari saja tdk ada.
— Susi Pudjiastuti (@susipudjiastuti) December 17, 2019
Bahkan, menurut Susi, 15 tahun yang lalu seorang nelayan bisa dapat memancing 2-5 kg lobster per hari. Sementara kini hanya bisa 1-2 ekor saja.
Selanjutnya, Susi memaparkan apa yang dilakukan oleh berbagai negara untuk melarang pengambilan bibit lobster.
Dalam cuitan lain, Susi juga sempat menyindir tentang kata "tenggelamkan" yang sekarang seolah menjadi momok bagi orang Indonesia sendiri.
Susi kemudian menutup kultwitnya mengenai lobster dengan kita semua untuk menjaga laut demi masa depan bangsa Indonesia.
Australia, India, Cuba dll yg ada Panulirus Hommarus mrk tidak ambil bibitnya, mrk ambil size tertentu saja. Australia min 1 pound &max size jg diatur. Yg besar bisa jadi indukan yg produktif. Mrk tidak budidayakan bibit, tidak ekspor bibit. Apakah krn mrk lebih bodoh dr kita????
— Susi Pudjiastuti (@susipudjiastuti) December 17, 2019
Kata'Tenggelamkan' jadi momok besar bagi kita. Padahal kata itu adlh kata yg tadinya menakutkan para pencuri ikan kita????Ikan ajan mati kalau tidak ditangkap. Lobster pun aka mati kalau tidak ditangkap/ dibudidaya????Ikan tidak berKTP& berpaspor????Ikan berenang lewati perbatasan????
— Susi Pudjiastuti (@susipudjiastuti) December 17, 2019
Lautan NKRI begitu kaya ribuan ragam jenis ikan, udang, crustacean, coral dll; Potensi &Persoalan ttg perdagangan dll.Tapi dr 3 thn yg lalu hanya omong : Bibit Lobster ekspor &budidayanya ?Penenggelaman kapal Pencuri ikan?Kapal ikan Asing/ex asing ?Ada magnet apa yg sangat kuat?
— Susi Pudjiastuti (@susipudjiastuti) December 17, 2019
Sy sdh Jawab hal2 td bbrp waktu/thn yg lalu. Jejak digital/You tube& wawancara pasti ada. Cari &pelajari. Ingat Djuanda & UNCLOSE 1982 telah memberikan NKRI Kedaulatan Laut sd 200 NM sbgai Zone Economi Exlusivenya untk Kesejahteraan Bangsa Kita. Laut Masa Depan Bangsa Indonesia
— Susi Pudjiastuti (@susipudjiastuti) December 17, 2019
KOMENTAR