"Untuk menjinakkannya tidak terlalu sukar. Yang lebih sukar kalau bom buatan pabrik," ujar AKBP Robby Kaligis, Komandan Resimen IV Brimob.
Bom buatan pabrik ini bom yang sudah siap pakai. Jenis ini biasa digunakan kalangan militer untuk bertempur.
Namun, jenis yang sama juga ditemukan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Rabu, 5 Juli 2000.
Untuk menceraiberaikan bahan peledak yang diduga ada di dalam tas atau bungkusan itu, anggota Gegana menembaknya dengan peluru air.
Baca Juga: Paku Berceceran Setelah Bom Bunuh Diri Meledak di Medan, Ini Alasan Mengapa Teroris Gunakan Bom Paku
"Tas, bungkusan, atau kotak itu diceraiberaikan atau istilahnya di-diswptor menggunakan tembakan air yang kecepatannya sama dengan peluru yang ditembakkan dari senjata," kata AKP Wahyu Widodo, salah seorang instruktur di Resimen IV Korps Brimob Polri di Kelapadua, Depok.
Senjata yang digunakan untuk menembakkan air sebanyak 100 ml itu terbuat dari pipa.
Gara-gara dana yang terbatas, menurut Wahyu, Gegana menggunakan alat disruptor rakitan sendiri yang hanya bisa dipakai sekali.
Tembakan air itu, katanya lagi, kecil kemungkinannya membuat bahan peledak (jika ada) dalam kotak atau tas ikut meledak.
Tak pernah menganggap sepele
Bergabung dalam pasukan satuan Gegana berarti siap menanggung risiko terburuk sekalipun.
Pada awalnya, satuan khusus yang dibentuk semasa Kapolri Anton Sujarwo ini dipersiapkan untuk menghadapi aksi pembajakan pesawat terbang yang pada tahun 1970-an pernah menimpa pesawat Garuda Indonesia.
Berawal dari situ, Gegana kemudian terbentuk menjadi pasukan elite antiteror milik Polri.
Seiring perjalanan waktu, satuan antiteror Gegana saat ini lebih dikenal sebagai pasukan penjinak bom.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR