"Sampai saat ini, saya belum mengangsur uang kontrakan sebesar tujuh- ratus lima puluh ribu itu," kata Kasni sendu.
Kasni memang pernah menerima sumbangan. Januari lalu, misalnya, ibu-ibu Dharma Wanita Dirjen Perhubungan Darat, mengunjungi sambil menyerahkan bingkisan.
"Tapi saya kan ngga bisa terus-menerus mengandalkan belas kasih orang," ujarnya lirih.
Bagi Kasni, peristiwa kecelakaan kereta api yang meminta korban jiwa 129 orang itu, memang sebuah mimpi buruk.
Bukan saja karena kasus itu telah menyeret suaminya ke pengadilan sebagai terdakwa, tapi Buang Sarino, anak tirinya paling sulung, ikut pula tercatat sebagai korban kecelakaan. Kakinya patah.
Siswa STM Muhammadiyah, Rangkas Bitung ini, memang ikut menumpang kereta api yang dikemudikan ayahnya pada hari naas itu. Bersama teman-temannya, Buang bermaksud praktek kerja di Stasiun Tanah Abang.
Kasni sendiri, katanya, sudah punya firasat sebelumnya. "Malam sebelum kejadian itu saya bermimpi, di rumah saya ada kendurian. Banyak tamu berdatangan," katanya.
Sementara hari-hari penuh derita dilewati Kasni, kini harapannya cuma satu: Mudah-mudahan di persidangan nanti, suaminya terbukti tidak bersalah, sehingga bisa berkumpul lagi bersama Kasni dan tujuh anak mereka.
Untuk itu, Kasni menuturkan, akan mencoba sttia menunggu SS bebas. Tapi sampai kapan penantian itu, Kasni tak bisa memastikan. "Kalau dia dipenjara seumur hidup, apa iya saya mampu menunggu dan tak kawin lagi?" tanyanya, seperti pada diri sendiri.
Ya, niat untuk meninggalkan Slamet sudah muncul dari Kasni sejak sang masinis masih menjalani persidangan.
KOMENTAR