Sementara itu, karya-karya yang tidak diketahui penciptanya hak ciptanya berada di tangan negara.
Undang-Undang No.19/2002 melindungi kedua kepentingan tersebut sebagaimana tertera dalam bagian ketujuh mengenai hak moral pencipta.
Pasal 24 ayat 2 menyatakan bahwa suatu hak cipta tidak boleh diubah walaupun hak ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal pencipta telah meninggal dunia.
Pasal ini memperlihatkan bahwa aspek ekonomi dan aspek moral dari hak cipta dilindungi oleh hukum.
Undang-undang tersebut mengakui dimensi moral dari karya itu lahir bukan hanya atas dasar kepentingan ekonomi, tetapi merupakan ekspresi dari eksistensi sang seniman sebagai manusia yang dilindungi hak asasi manusianya (HAM) secara universal sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan.
Pelanggaran terhadap hak moral sang seniman berarti pelanggaran terhadap HAM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Melindungi karya sebagai seniman
Yesmil menuliskan, sesungguhnya hak cipta sang seniman yang sifat eksklusif itu melekat pada karya sang seniman, terlepas dari diumumkan maupun tidak diumumkan pada publik.
Namun, karya tetap dianjurkan untuk didaftarkan .
BAB IV Pasal 35 undang-undang tersebut menjelaskan tata cara pendaftaran ciptaan.
Pendaftaran karya dapat berfungsi sebagai bukti awal di pengadilan jika karya itu dibajak atau terjadi sengketa.
Hal ini amat membantu sang seniman yang tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana caranya mendapatkan perlindungan hukum dan hak royalti karyanya.
Jangan sampai seniman terkucilkan dari hak-hak atas karyanya sendiri karena ketidaktahuan.
Penulis | : | Trisna Wulandari |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR