Namun, tantangan yang lebih besar di masa itu yakni ketiadaan anastesi, sehingga pasien dioperasi dalam keadaan sadar.
Pasien harus melihat ujung hidungnya sendiri ketika dokter menahan kelopak mata dengan jempol dan jari kelingking.
Bola mata pasien kemudian dipercikkan air susu ibu, sementara bagian luar mata dibasahi dengan ramuan herbal.
Sang dokter kemudian menggunakan alat untuk mengikis lensa mata yang buram sampai bola mata pasien dianggap cukup mengkilap lagi.
Selama operasi, pasien harus menahan bersin, batuk, sendawa, atau respons lain yang bisa menyebabkan tekanan pada mata.
Jika operasi berlangsung sukses, penglihatan pasien akan membaik, meskipun tidak fokus.
Di masa itu, pasien dengan operasi yang sukses bisa memiliki jarak pandang 2-3 meter.
Pasien bisa melihat lagi makanan yang ia makan, dan lolos tes menghitung jumlah jari dengan benar.
Sayangnya, karena kacamata saat itu belum ada, fungsi penglihatan pasca operasi tidak bisa dibantu lebih baik lagi.
Sushruta juga menetapkan kode etik bahwa operasi yang dilakukan hanya demi uang, dengan mengabaikan proses perkembangan penyakit, atau dengan ketidakcakapan penilaian sang dokter hanya akan berujung pada komplikasi pada pasien.
Ia menekankan, dokter bedah yang teliti akan menghargai pasien seutuhnya.
Kini, dokter tak lagi melakukan operasi seperti yang dilaksanakan Sushruta.
Kendati demikian, pemikiran dan etika Sushruta kini dikenang sebagai keberanian dan inisiatif merintis.
Penulis | : | Trisna Wulandari |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR