Dampaknya, bukan cuma terjadi perubahan fisis dan kimiawi di dalam tubuh, emosinya pun mulai terjaga.
Dua kasus tadi mengantar Benson pada pemahaman baru, yang dia sebut remembered wellness. Artinya, kemampuan tubuh seseorang untuk ingat pada kondisinya semasa sehat.
Konon, inilah sumber kekuatan sejati yang berasal dari dalam diri. Tapi, hati Benson hancur berkeping-keping, bak satelit kena gesek atmosfer.
Lantaran saat kembali ke bangku kuliah, fenomena menarik tadi tidak mendapat tanggapan serius dari dosen dan para mentornya. Dia mulai sadar, kekuatan remembered wellness telah terlewatkan.
Ironis, karena faktor motivasi yang berperan besar dalam kehidupan manusia, justru bablas begitu saja. "Inilah titik lemah ilmu kedokteran Barat," cetusnya gemas.
Terbukti darihasil penelitiannya kemudian; antara persepsi pasien dengan gejala fisis sering bertautan erat. Contohnya, kasus pengobatan angina pectoris.
Tahun 1979, Benson dan rekannya, Dr. David P. McCallie jr. mempelajari terapi terhadap kelainan jantung. (sakit pada jantung dan lengan yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otot jantung). Salah satunya, lewat penyuntikan bisa kobra.
"Banyak yang menyebut terapi seperti itu sama sekali tak berdasar. Namun Benson menyodorkan fakta, kalau dipercaya kebenaran dan kemanjurannya, tingkat kesuksesan terapi-terapi ini ternyata bisa mencapai 70 - 90%.
Tapi, begitu para dokter meragukan keefektifannya, tingkat keberhasilannya anjlok antara 30 - 40%.
Bersama Dr. Mark D. Epstein, Benson menyimpulkan tiga cara untuk memperoleh hasil maksimal remembered wellness.
Pertama, keyakinan dan harapan pasien, lalu keyakinan dan harapan pihak dokter. Terakhir, keyakinan dan harapan yang tumbuh dari, hubungan antara pasien dan dokter.
Sejak itu, jadilah Benson pengusung pengobatan yang disebutnya sebagai kaki ketiga (jika dunia kedokteran diibaratkan sebagai kursi berkaki tiga).
Penulis | : | T. Tjahjo Widyasmoro |
Editor | : | T. Tjahjo Widyasmoro |
KOMENTAR