Mungkinkah almarhum juga mengetahui laporan dari Boyolali?
Orang biasa cuma dapat merasa tegangnya suasana. Akan terjadikah sesuatu yang menggocangkan?
Dalam suasana semacam itu, banyak orang prihatin.
Di Yogya, orang kalangan “dalam” menanggapinya dengan mengadakan pawai mengelilingi beteng (tembok kuno yang mengelilingi istana).
Tidak dengan drumband sebagaimana umumnya dn aiditpawai orpol-ormas ditengah-tengah suasana panas itu, melainkan justru dengan tutup-mulut tidak bicara sepatah katapun.
Tidak di siang hari, melainkan di malam hari.
Jam 22.00 pawai bergerak istimewanya, justru banyak puteri yang Ikut serta. Dan kita yang menyaksikan turut terdiam.
Hingga kini banyak orang yang percaya, bahwa pawai doa mohon selamat dari bencana dengan keliling beteng itulah yang menyebabkan tidak banyak pembunuhan terjadi di kota dan di wilayah Yogya pada zaman Gestapu.
Padahal kalau pemimpin Gestapu Yogya, bekas Major Mulyono, cepat bertindak ia dan kawan-kawannya pasti dapat menghabisi siapa saja yang dipandang sebagai lawannya. Karena Yogya khususnya dan Jawa Tengah umumnya memang dalam keadaan tidak siaga pada hari-hari sekitar pembentukan “Dewan Revolusi".
Justru keadaan inilah antara lain yang memungkinkan Mulyono dapat mengumumkan pembentukan “Derev".
Tanggal 2 Oktober, tanggal mendaratnya DN Aidit di Yogyakarta (ia bertolak dari lapangan terbang Halim jam 1.30 malam dan tiba di Yogya jam 3.00 pagi).
Pemuda Rakyat, CGMI dan sebangsanya menempelkan plakat dimana-mana, yang pada pokoknya mendukung “Derev" dan mengutuk apa yang disebutnya “Dewan Jenderal".
R.R.I, yang dikuasai Mulyono, pada tanggal 2 Oktober itu juga mengumumkan larangan mendengarkan Radio Jakarta.
Suasana umum takut-khawatir-takut.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR