"Ternyata, banyak sekali pemuda Indonesia, mahasiswa, yang sangat cinta, untuk mengetahui sejarah bangsa sendiri."
"Begitu mereka menghubungi saya lewat Facebook, saya menulis tiap malam, untuk mereka, seperti apa pengorbanan itu."
"Saya salah satu anak Pak Yani, yang mungkin, apa ya, merasakan betul secara hati nurani saya. ketika ibu saya selalu bilang begini, Kenapa bapakmu dibunuh, salah apa dia?"
"Setiap hari pembicaraannya itu terus, seperti tidak ada jawaban."
"Dan, kemudian, saya mencari jawaban itu dengan menulis. Saya mulai mewawancarai Pak Nasution (AH Nasution), Pak Sarwo Edhie, Pak Soemitro,"
"Semua saya wawancara. Saya tanya, seperti apa ayah saya sebetulnya, lalu kenapa harus dibunuh."
"Di situ saya (juga) mulai membuka agenda bapak saya. Di situ ada beliau mengatakan, "Kenapa saya jadi prajurit?" ungkap Amelia.
Menurutnya, menulis adalah bagian dari rasa cinta tanah air.
"Karena saya patriot, karena saya cinta Tanah Air." Begitu pesan dari orangtua saya itu penting sekali untuk generasi muda.
"Kenapa saya belajar? Untuk jadi apa? Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot." Tidak harus jadi prajurit, lho. Tapi, semangat itu ada," kata Amelia.
Amelia juga menuturkan bahwa ia sempat bercucuran air mata saat menulis buku tersebut.
Rasa trauma yang ia alami membangun visualisasi seolah sang ayah datang kembali dan merasa dekat dengannya.
"Seolah-olah saya dibimbing untuk menulis."
"Kan nulisnya bukan siang hari, saya nulisnya malam hari, jam tiga pagi, jam satu malam, ketika sepi, tidak ada siapa-siapa,"
"Saya seperti ada yang mendorong untuk menulis dan jawaban itu seperti ada di situ," ujarnya.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR