Sebelumnya, Helen melakukan penelitian terhadap 17 pasangan baru (10 wanita dan 7 pria) yang menjalin hubungan sekitar tujuh bulan lamanya.
Semua responden melakukan scan otak, terutama pada bagian ventral tegmental.
Bagian ini merupakan produsen dopamine yang kemudian menstimulasi area lainnya pada otak.
“Ventral tegmental merupakan ‘pabrik’ yang menghasilkan keinginan, pencarian, energi, fokus, dan motivasi,” tutur Helen.
Kemudian, hasil dari penelitian tersebut, Helen menyimpulkan orang-orang yang merasakan cinta sejati seperti ‘mabuk’ secara alami.
Cinta sejati atau bukan?
Helen menyebutkan, cinta muncul apabila segala hal tentang orang tersebut menjadi spesial di mata kita.
“Cara dia berpakaian, cara dia berekspresi, buku yang dia sukai, semua hal tentang orang ini menjadi spesial,” tuturnya.
Anda sebenarnya punya daftar panjang tentang hal-hal apa saja yang tidak disukai mengenai orang tersebut.
Namun, Anda lebih memilih untuk menyimpannya saja dan fokus terhadap hal-hal positif di depan mata.
“Kemudian muncul energi yang sangat intens dan mood swings yang diakibatkan oleh cinta.
Rasa senang ketika semua hal berjalan dengan lancar, sampai kekecewaan mendalam ketika pesan singkat tidak dibalas,” tambah dia.
Secara biologis, jatuh cinta membuat mulut menjadi lebih kering.
Ada perasaan butterfly in my stomach, lutut yang lemas, ketakutan akan berpisah, dan keinginan untuk melakukan aktivitas seksual.
Baca Juga: Jika Mau Pindah di Desa Ini, Anda Akan Dibayar Rp382 Juta, Bahkan Diperbolehkan Membuka Usaha
“Anda ingin orang tersebut untuk menelfon dan menulis pesan.
Ada motivasi yang sangat kuat untuk mendapatkan orang ini. Seringkali dengan cara-cara yang luar biasa dan di luar akal sehat,” tutur Helen.
Lalu bagaimana cara kita mengetahui apakah sebuah cinta sejati atau tidak?
Gabija menuturkan bahwa sejati atau tidaknya cinta tergantung persepsi masing-masing orang.
Hal yang mendasarinya adalah koneksi mendalam antara dua orang, yang merujuk pada komitmen dan kebiasaan-kebiasaan tertentu.
“Cinta yang memiliki keseimbangan besar yang bisa bertahan,” tuturnya.
Namun Gabija menuturkan, pada level emosional tertentu, cinta tetaplah merupakan sebuah brain chemistry yang berganti setiap waktu.
“Terkadang kita tidak merasakan emosi seperti cinta. Terkadang kita merasakan flat moments, yaitu di saat kita tidak merasakan apa-apa,” tuturnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kata Sains tentang Cinta Sejati seperti Habibie dan Ainun"
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR