Saat itu, nyaris seluruh mahasiswa Indonesia yang sekolah di luar negeri adalah penerima beasiswa.
Itulah sebabnya mereka memegang paspor biru, paspor dinas. Berbeda dengan Rudy yang bukan penerima beasiswa sehingga paspornya berwarna hijau.
Para mahasiswa Indonesia yang lebih senior langsung menyimpulkan kalau Rudy bukan anak yang pintar, tidak qualified, sebab dia tak mendapat beasiswa.
Keadaan berubah ketika Rudy selesai menempuh ujian Studienkollegs.
Awalnya dia kecewa karena namanya tidak ada.
Ia ketakutan, keringat dingin membasahi dahinya, matanya sudah mau nangis saja. Di kepalanya hanya ada Mami dan Mami.
Mami sudah mengeluarkan biaya sebesar itu hanya untuk sebuah kegagalan. Belum pernah Rudy merasa se-tak berguna ini.
Ternyata karena badannya yang kecil Rudy tak bisa melihat papan nama paling atas.
Padahal namanya masuk dalam deretan teratas. Ia mendapatkan nilai hampir 10.
Saat teman-teman Indonesia mendengar kabar itu, mereka juga merasa ikut senang.
Mereka berpikir pasti soalnya gampang karena orang yang bukan penerima beasiswa saja bisa masuk tiga besar.
Namun ketika mereka ikut ujian, ternyata nilainya pas-pasan bahkan banyak yang gagal.
Mulai saat itu asumsi mereka terhadap Rudy sebagai anak yang kurang pintar dan tidak qualified berubah.
Baca Juga: BREAKING NEWS: Presiden Republik Indonesia Ke-3 BJ Habibie Meninggal Dunia
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR