Perbedaan budaya akademis
Bagus menilai Iklim dan budaya akademis Indonesia perlahan namun pasti sudah mulai mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.
Bagus menyeritakan ketika melanjutkan studi ke Taiwan tahun 2006, tidak banyak orang mengenal dan melakukan riset maupun jurnal ilmiah. "Berbeda dengan situasi saat ini. Ilmuwan dan akademisi tua-muda di Indonesia saat ini sudah mulai vokal dan berani kritis akan situasi di Indonesia melalui media, dan ingin menjadi agent of change," ujarnya.
Ia menambahkan pengisi kursi pemerintahan dan masyarakat yang berkontribusi dalam membuat kebijakan juga pada saat ini tidak lagi terpaku pada satu keilmuan, namun mulai melek dalam beragam perspektif sains.
Diaspora juga turut dipanggil ke Indonesia untuk kontribusi dalam memajukan pendidikan dan penemuan dalam menyelesaikan masalah dalam negeri. Padahal praktik ini sudah dilakukan China jauh berdekade sebelum Indonesia, dan sudah membuahkan hasil.
Dalam mencetak sumber daya manusia, bagi Bagus menilai SDM Indonesia tidak kalah hebat. Toh dirinya sudah membuktikan dengan mengawali sebagai mahasiswa yang berkuliah di kampus dalam negeri. Namun memang menurutnya, pola pikir akademis yang membedakan.
"Kultur akademis interdisipliner, kolaboratif, dan global untuk menyelesaikan masalah sudah terbangun. Di Indonesia masih sedikit berpaku pada jalur linearitas. Oleh karenanya, kita berharap akan lebih banyak kolaborasi dan studi banding yang dilakukan atas nama pendidikan Indonesia," tutup Bagus.
Penulis: Gabrielle Alicia Wynne Pribadi
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bagus Muljadi, Titik Balik Anak Betawi IPK 2,69 jadi Ilmuwan Kelas Dunia"
Source | : | kompas |
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR