Sebagai pemuda kelahiran 1941, tentu belum ada sekolah film, apalagi animasi, pada saat tiba waktunya masuk perguruan tinggi. Maka ketika ditekuninya "pelajaran menggambar", tentulah karena kedekatannya dengan animasi tersebut.
Kemudian, dalam situasi kacau semasa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, kebetulan Dwi Koen mendapat tawaran bergabung dengan Televisi Eksperimen di Surabaya, yang merupakan proyek bersama TVRI, Angkatan Laut, dan Institut Teknologi Surabaya.
Tentu ia menyambutnya dengan bergairah, dan di sana segera dipelajarinva segala sesuatu yang berhubungan dengan teknik dan bahasa audio visual.
Baca Juga: Mengapa Banyak Tokoh Kartun Berwarna Kuning? Ini Dia 3 Alasannya
"Jadi dalam dunia film saya belajar secara autodidak," katanya, "film animasi saya perhatikan gambarnya per-frame dari seluloid, untuk mempelajari cara menggambarnya." Bukan main!
Tentu saja ini menjelaskan ketekunan Dwi Koen, dan nanti juga produktivitasnya, ketika kelak ke mana pun ia pergi untuk shooting harus berbekal kuas, tinta. pensil, karet penghapus, dan kertas, agar Punji Koming terjamin tidak absen.
Kenapa bisa begitu? "Saya pernah menjadi sutradara suatu proyek, dan begitu asyiknya sehingga tidak merasa perlu menggambar Panji Koming sampai dua minggu berturut-turut. Ternyata kemudian terjadi kegegeran, karena banyak pembaca yang mengeluh kepada redaksi Kompas," kisahnya.
Sejak itu kepada Dwi Koen diajukan semacam "kontrak" selama hayat dikandung badan, bahwa Panji Koming akan terus hadir di Kompas hari Minggu.
Baca Juga: Lucu! Foto-foto di Dunia Nyata Ini Sangat Mirip dengan Adegan dalam Film Kartun Terkenal! Kebetulan?
Riwayat munculnya Panji Koming di Kompas sendiri memang berbau sambilan. Ketika sedang sibuk-sibuknya menjadi manajer produksi di Gramedia Film, datang tawaran yang juga berbau iseng.
"Bisa menggambar kan? Bikin kartunlah!" Begitu kira-kira ajakan redaksi Kompas. "Mula-mula saya ajukan Pailul," kisahnya lagi, "tapi katanya terlalu Jawa, jadilah Panji Koming, yang lantas dianggap singkatan Kompas Minggu. Ya sudahlah!"
Namun yang semula hanya seperti mengisi ruang kosong dan waktu luang, setelah berjalan bertahun-tahun sejak 1979, kini menjadi ruang waktu yang dihayatinya dengan penuh kesungguhan.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR