Advertorial
Intisari-Online.com - Shalahuddin Siregar, sutradara film dokumenter, dalam esainya yang berjudul “Rupa-rupa Pendanaan Dokumenter” mengatakan keluhan yang sering dikeluarkan para pembuat film dokumenter adalah terbatasnya sumber dana produksi.
Mereka jadi takut tidak bisa hidup layak sebagai pembuat film dokumenter.
Di Indonesia, menurutnya, perkembangan film dokumenter kental dengan pengaruh televisi dan lembaga donor.
Alhasil, film-film itu harus menyesuaikan diri dengan keinginan televisi dan lembaga donor yang menjadi mitra.
Pendapat tak jauh berbeda dikemukakan Amelia Hapsari, Direktur Program Good Pitch Indonesia 2019, saat mengunjungi kantor Kompas Gramedia, Kamis (15/8/2019).
“Ketika film dokumenter dibuat, tidak ada pendanaan formal,” kata Amelia.
“Tidak ada pendanaan dan tidak ada distribusi.”
Ia menambahkan, stasiun televisi juga tidak bekerjasama dengan produser independen yang membuat penayangan film dokumenter terbatas.
“Kita tidak ingin situasi terus-menerus seperti ini, karena film dokumenter itu punya potensi yang besar,” ujar Amelia.
Maka dari itu, In-Docs, lembaga nonprofit yang mengolah bakat-bakat dokumenter menyelenggarakan Good Pitch Indonesia 2019.
Acara ini berusaha menjembatani pembuat film dokumenter dengan berbagai mitra yang dapat berkontribusi memperluas dampak sosial film yang terpilih.
Kontribusi bisa berupa pendanaan, distribusi film, atau koneksi pada pembuat kebijakan dan pihak lainnya.
Dampak sosial yang ingin dituju juga beragam.
Ada perubahan kebijakan, raihan audiens yang luas, serta terdorongnya diskusi tentang isu yang diangkat dalam film.
Relevansi Topik
Good Pitch Indonesia 2019 merupakan adopsi dari acara serupa di Inggris yang diadakan DocSociety pada 2008.
Keberhasilannya membuat acara ini diselenggarakan di banyak negara lainnya.
Tahun ini, Good Pitch Indonesia diadakan pertama kali setelah pada 2017 lalu Indonesia berkontribusi di Good Pitch Southeast Asia.
Ada lima film terpilih mengikuti acara ini, yaitu Pesantren karya Shalahuddin Siregar, Menggapai Bintang karya Ucu Agustin, Hidup dengan Bencana karya Yusuf Radjamuda, Bara karya Arfan Sabran, dan Waste on My Plate karya David Darmadi.
Kelimanya adalah hasil kurasi dari 80 film yang dijaring pada tahap open application Desember tahun lalu.
Lima film yang masih dalam tahap produksi ini dipilih berdasarkan track record para pembuat, kampanye dan dampak yang ingin diraih, serta kualitas trailer film.
Amelia mengatakan, relevansi topik film juga menentukan, meski tak ada topik yang diprioritaskan.
“Kayaknya ini relevan dan masih perlu diperjuangkan isunya, itu kita ambil,” ujar Amelia.
Nantinya, lewat berbagai mitra yang memiliki ranah masing-masing, isu yang diangkat bisa diperjuangkan bersama.
“Maksudnya Good Pitch itu mempertemukan orang-orang yang berjuang ini supaya perjuangannya kemudian bisa bareng-bareng,” jelas Amelia.
Distribusi Nasional
Amelia yang juga sutradara film dokumenter mengatakan mulai ada banyak perkembangan di ranah film dokumenter Indonesia.
Sejak tahun lalu, ia menilai, muncul kolaborasi antara industri film internasional dengan produser independen, hal yang dulu sulit dilakukan.
Muncul pula beberapa ajang pendanaan film, salah satunya Good Pitch, yang mendorong pendanaan dan distribusi internasional.
“Yang sedang diusahakan In-Docs adalah distribusi nasional,” ujar Amelia.
Ia mengatakan, terbatasnya distribusi nasional film dokumenter menjadi salah satu alasan In-Docs mengadakan Good Pitch khusus Indonesia.
Saat ini pun, Good Pitch mengandalkan distribusi dari mitra, pemutaran di ruang putar alternatif, dan Netlfix.
Itu pun tak semua film bisa masuk ke jaringan Netflix.
Meski begitu, Amelia mengatakan setiap individu atau komunitas bisa mengirim permintaan menonton film.
Syaratnya, mereka memberi identitas dan berkomitmen untuk tidak menyalin dokumen film.
Hingga kini, kelima film sedang dalam tahap mentoring dengan In-Docs dan DocSociety untuk berkonsultasi tentang tantangan yang dihadapi.
Mereka tengah bersiap menuju gelaran acara live crowdsourcing Good Pitch Indonesia pada 5 September 2019 di Jakarta. (Ananda Putri/Natalia)
Baca Juga: Kurt Cobain: Montage of Heck, Film Dokumenter yang Menguak Misteri Hidup Kurt Cobain