Berdasarkan UU ini, indikator penetapan status dan tingkat bencana nasional perlu meliputi jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasaran, cakupan luas wilayah, dan dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan.
"Memang itu laporan data-data berkenaan dengan korban dari orang yang bekerja di sana.
Kita terima, dan itu jadi evaluasi karena itu intensitas memulihkan situasi di Nduga itu jadi prioritas," lanjut Ifdhal.
Bantuan pemerintah ditolak
Saat ini pemerintah melalui Kementerian Sosial telah menyalurkan bantuan berupa makanan.
Tapi sebagian pengungsi menolak bantuan tersebut karena sejumlah alasan.
"Alasan penolakan itu saudara-saudara kami sedang korban meninggal di hutan, terus kita mau tinggal di sini, mau enak-enak makan.
Sementara teman-teman kita yang ada di hutan mati semua," kata Theo sambil mengatakan pemerintah perlu melakukan pendekatan secara kultural kepada para pengungsi.
Alasan lainnya, para pengungsi juga meminta penarikan pasukan TNI/Polri dari Kabupaten Nduga.
Sebab, keberadaan tentara justru membuat pengungsi ketakutan.
"Supaya kami bisa masuk ke daerah, kita bisa leluasa di kampung-kampung. Daripada kami dibantu terus," tambah Theo.
Terkait hal ini, Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) Cenderawasih Letkol Cpl Eko Daryanto menolak berkomentar.
Namun Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ifdhal Kasim mengatakan keberadaan militer di Kabupaten Nduga "untuk memudahkan, bekerjanya (petugas) bantuan-bantuan untuk mengatasi soal krisis kesehatan di sana'.
"Mulai soal anak, perempuan, dan pendidikannya. Jadi juga infrastruktur, karena kalau tidak ada jaminan kemanan juga sulit dilakukan.
Cuma kan yang pengamanan ini tidak dikesankan sebagai satu operasi militer. Kira-kira begitu," kata Ifdhal.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "182 Korban Meninggal Akibat Konflik di Nduga Papua karena Kedinginan, Lapar, dan Sakit"
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR