Advertorial

Editorial INTISARI Edisi Agustus 2019: Tujuh Windu Bagi Sang Pemula

Mahandis Yoanata Thamrin
Mahandis Yoanata Thamrin

Editor

Mungkin, inilah majalah nasional tertua di Indonesia yang sampai hari ini masih Anda baca.
Mungkin, inilah majalah nasional tertua di Indonesia yang sampai hari ini masih Anda baca.

Awal bulan lalu, saya berjalan kaki menyusuri malam di jantung Kota Bandung. Saya singgah di gedung bekas kantor surat kabar Medan Prijaji yang temaram. Surat kabar itu dibangun oleh Tirto Adhi Soerjo, terbit perdana pada 1907. Pramoedya Ananta Toer menjulukinya sebagai “Sang Pemula”—untuk menghormati peran Tirto sebagai perintis pers Indonesia sekaligus perintis utama kebangkitan nasional kita.

Di emperan gedung itu saya bersandar. Saya teringat ketika melewati tahun pertama berkarya di Kompas Gramedia, majalah ini merayakan ulang tahunnya yang ke-40. Dalam perayaan itu Jakob Oetama, pendiri dan pemimpin redaksi pertama majalah ini, menyematkan sebutan “Sang Pemula” untuk INTISARI, yang tampaknya terinspirasi dari sebutan Pram tadi.

Bulan ini, tujuh windu silam, INTISARI terbit perdana. Majalah mungil ini terbit monokrom, tanpa sampul—tetapi tidak telanjang—tepat pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Tebalnya, 128 halaman. Bertiras 10.000 eksemplar dan ludes! Harga Rp60 untuk Jakarta dan sekitarnya, sedangkan Rp65 untuk luar kota. Itu sudah termasuk sumbangan pembangunan Monumen Nasional. Kita patut berbangga bahwa pembaca senior majalah ini turut berpartisipasi dalam pembangunan monumen kebanggaan Indonesia.

Salah satu monumen penting lainnya yang terkait dengan lahirnya majalah ini adalah Candi Prambanan. Dalam sebuah pertunjukan sendratari dalam bias sinar rembulan di pelataran candi itu, Jakob Oetama dan Petrus Kanisius Ojong (Auwjong Peng Koen) membicarakan sebuah media baru di tengah kekangan informasi oleh negara. Misi mereka sama, akses informasi yang mencerahkan warga. Lalu, mereka pun sepakat untuk menerbitkan media bergaya cerita manusia—bukan renungan atau opini belaka.

Bukan kebetulan apabila keduanya memiliki kesamaan: Jakob dan Ojong memiliki latar guru. Keduanya juga memiliki minat pada sejarah. Keduanya juga jurnalis yang mumpuni. Jakob adalah jurnalis dan memimpin Penabur, sementara Ojong pernah menjadi jurnalis di Keng Po dan memimpin majalah Starweekly. Boleh dikata, INTISARI juga merupakan titisan dan kelanjutan sejarah pers Tionghoa.

Pada edisi ulang tahun ke-56 yang bertepatan dengan tujuh windu majalah ini, kami menyajikan kisah bertema sejarah dalam tajuk “Jejak Riwayat Sehat Nusantara”. Selain kisah sejarah, kami juga membingkiskan nuansa kekinian tentang perkembangan dunia kesehatan mutakhir dan profesi dokter milenial.

INTISARI adalah sebuah monumen tujuh windu yang membakar semangat baru. Majalah ini tidak sekadar menandai zaman, tetapi juga berupaya cerdas dan menginspirasi setiap dinamika dan generasi. Mungkin, inilah majalah nasional tertua di Indonesia, yang sampai hari ini masih Anda baca.

Baca juga: Editorial INTISARI Edisi Juli 2019: Bukan Sekadar Berat Badan