Tawanan lelaki dan tawanan perempuan ditempatkan di kamp terpisah.
Mereka menghadapi kebiasaan hidup yang berubah drastis. Seperti soal makanan, mandi pun menjadi persoalan, baik bagi perempuan maupun laki-laki sekalipun.
Jalan termudah untuk menyesuaikan kehidupan kamp adalah, ungkap Rita, dengan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan baru.
Para perempuan menggunakan kain sarung untuk mandi di sumur. Satu tangan memegangi sarung, sementara tangan lainnya mengguyur air dengan gayung.
Ketika menyabuni badan, tepian sarung digigit, sementara dua tangan bekerja di dalam sarung.
“Sulit sekali menggunakan sarung sebagai penutup tubuh,” ungkap Rita. “Aku merasa seperti tukang sulap saja.”
Namun, Nio mempunyai kisah sendiri soal acara mandi di kamp. “Boeat mandi bermoela banjak orang moendoer-madjoe. Bisa dimengarti,” tulisnya.
“Kita moesti mandi berbareng sama banjak orang dengen... terlandjang!”
Mereka yang tidak suka mandi dengan cara ini, ungkap Nio, bisa mandi bercelana.
“Dan ini soesah dilakoeken sebab kita tida ada poenja tjelana laen boeat gantinja itoe!”
Meskipun Nio dan Rita terpaut usia dan lokasi kamp yang jauh, keduanya mengalami suatu masa yang menorehkan kenangan nan tak lekang.
Masa itu telah menjungkirbalikkan kehidupan mereka di sebuah kawasan asing bak hidup di dunia lain. (Mahandis Yoanata Thamrin)
Artikel ini telah tayang di nationalgeographic.grid.id dengan judul Penuturan Dua Penyintas: Bagaiamana Cara Mandi dan Makam di Kamp Tawanan Jepang?
Penulis | : | Nieko Octavi Septiana |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR