Terutama karena indikasi "positif" yang belum tentu tepat justru bisa membuat pasien cemas meskipun sebenarnya tidak berisiko.
Meski begitu, para peneliti menyarankan agar para dokter bertanya secara rutin kepada semua atlet, pertanyaan seperti: "pernahkah merasakan pusing hebat atau pingsan, nafas memendek secara tiba-tiba, atau nyeri dada setelah olahraga?" dan "apakah kamu memiliki keluarga dengan riwayat kematian mendadak atau penyakit jantung parah di bawah usia 60 tahun?".
Dokter mungkin membutuhkan tes lebih jauh bergantung pada jawaban pasien atas dua pertanyaan tersebut.
Baca Juga: Viral Video Selamatkan Serangan Jantung dengan Tepuk Siku, Tim Dokter Jantung IDI: Tidak Benar
Untuk mencegah munculnya semakin banyak kasus kematian atlet karena henti jantung, para peneliti menyarankan agar tempat publik yang digunakan untuk menyelenggarakan acara olahraga memiliki Automated External Defibrillators (AED).
Alat ini akan menghantarkan kejut listrik melalui dada menuju jantung, berpotensi menghentikan denyut jantung yang tidak normal kemudian mengembalikannya lagi ke ritme normal.
Biasanya, pada kasus dimana AED digunakan, rasio penderita yang selamat lebih tinggi.
Contohnya, pada satu aktivitas maraton di Jepang, paramedik bersepeda membawa AED di ransel mereka dan berjaga dekat dengan garis akhir, siap untuk menyediakan pertolongan segera.
Dalam sebuah studi yang dipublikasikan di New England Journal of Medicine, para peneliti menemukan bahwa 28 dari 30 orang pelari yang mengalami henti jantung sukses ditangani hingga sadar, rasionya mencapai 93 persen.
"Jika henti jantung terjadi, mereka bisa mengatasi dengan sangat segera," kata Dorian. (Nabilla Tashandra)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Henti Jantung di Tengah Olahraga, Apa Penyebabnya?"
, https://lifestyle.kompas.com/read/2019/07/17/110338920/henti-jantung-di-tengah-olahraga-apa-penyebabnya?page=all.
Penulis : Editor : Wisnubrata
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR