Intisari-Online.Com - Seperti disebutkan dalam tulisan sebelumnya, Ida Pfeiffer merupakan pelancong wanita.
Agak tomboi, perempuan asal Austria ini gemar bepergian sendiri, mengarungi samudra sejauh 240.000 kilometer, dan 32.000 kilometer perjalanan darat di empat benua.
Pulau Kalimantan merupakan salah satu yang jadi tempat yang pernah disinggahinya.
“Saya dapat menggunakan waktu untuk sedikit berkenalan dengan Pontianah,” ungkap Ida Laura Reyer Pfeiffer.
“Situasi kota tampak segala sesuatunya menyenangkan,” tulisnya.
"Meskipun tiada satu pun hotel atau penginapan."
Ida, seorang perempuan asal Austria, melanglang buana hingga ke Hindia Belanda pada 1852.
Dia berjejak di Pontianah, demikian sebutan Kota Pontianak dalam catatan perjalanannya. Selama Februari-April dia berada di kota kecil itu dan sekitarnya.
"Waktu yang saya miliki selama di Pontianah telah saya gunakan sebaik-baiknya," ungkapnya.
Baca Juga: Kisah Sang Sultan, Ida Pfeiffer, dan Taman Sari, Tempat Wisata yang Instagram-able di Yogyakarta
Dia menantang teriknya matahari mencari serangga untuk koleksi spesimennya.
"Saya menggunakan kesenangan yang kekanak-kanakan dengan berjalan kaki ke persimpangan khatulistiwa, lokasinya tak jauh dari pusat Pontianah."
Kota Pontianak terletak sekitar 20 kilometer dari bibir pantai.
Sehamparan dataran, tanpa tanaman padi, dan terlindung dari pepohonan rapat.
Di dekat kota terdapat sebuah benteng yang dikelilingi dinding tanah, yang dijaga sekitar 130 serdadu.
Pemerintahan Eropa dibentuk oleh residen, yang didukung sekitar enam pejabat, beberapa perwira militer, dan seorang dokter.
Ketika Ida bertandang ke Pontianak, penduduk kota itu sekitar enam ribu jiwa.
“Tempat tinggal Sultan menghadap pantai,” demikian kata Ida, yang mungkin maksudnya adalah tepian Sungai Kapuas yang bermuara di lautan lepas.
Dia juga membandingkan para pangeran di India dan pangeran Kalimantan.
Satu-satunya perbedaan menurutnya, pangeran di Kalimantan meminta bantuan Belanda atas kemauan mereka sendiri, yang sejatinya bertentangan dengan keinginan mereka.
“Para pangeran Borneo tidak memiliki kekuatan,” ungkapnya.
“Di satu sisi untuk menyelesaikan perselisihan antara warga Melayu, Cina, dan Dayak; sementara di sisi lain mengurangi konspirasi yang kerap terjadi dalam keluarga mereka sendiri.”
Baca Juga: Kisah Dewa Judi dari Pulau Kalimantan yang Diburu FBI karena Membuat Pemerintah AS Khawatir
Penulis | : | Nieko Octavi Septiana |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR