Intisari-Online.com - Kasus pernikahan sedarah antara seorang pria dengan adik kandungnya sendiri di Bulukumba, Sulawesi Selatan sudah terdengar oleh ayah kandung dari pasangan tersebut.
Meski dirinya dan keluarga mengaku sebelumnya tidak mengetahui kebar dari pernikahan kakak-adik tersebut.
Mustamin, ayah dari Ansar (32) dengan FI (20), mengaku sangat malu atas pernikahan kedua anak kandungnya tersebut.
Bahkan, Mustamin sampai berharap agar kedua buah hatinya dijatuhi hukuman setimpal karena tindakan yang dilakukan keduanya.
Termasuk hukuman adat berupa ri-labu, yaitu ditenggelamkan di laut dengan cara dimasukkan ke karung.
"Saya tidak mau lagi melihat kedua anak itu. Jika hukum adat bisa dilakukan, kedua anak ini akan di-labu (ditenggelamkan di laut dengan cara dimasukkan ke karung)," ujar Mustamin menanggapi pernikaahan yang dilakukan oleh anak-anaknya, seperti dilansir INTISARI dari kompas.com.
Ri labu sendiri merupakan salah satu hukuman terberat yang dijatuhkan bagi pelanggar norma kesusilaan atau malaweng di tanah Bugis.
Sebenarnya ada hukuman mati lain yang tak kalah mengerikan dari itu. Namun, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu mengenai hukum adat di tanah Bugis berikut ini.
Dalam penelitian hukum tentang perkembangan hukum adat di Provinsi Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Ahmad Ubbe, diuraikan bagaimana kebudayaan bugis mengatur tentang pergaulan antara wanita dan laki-laki.
Pergaulan yang dianggap tercela atau melewati batas natara wanita dengan laki-laki, menurut penelitian yang dilakukan oleh dari Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2005 tersebut, dikenal dengan sebutan malaweng.
Terdapat tiga tingkat malaweng, yaitu:
"(1) Malaweng pakkita (gerak-gerik mata yang terlarang atau sumbang
mata);
(2) Malaweng kedo (perbuatan, atau gerak-gerik dan tingkah-laku yang
terlarang, tingkah laku sumbang);
(3) Malaweng luse (perbuatan meniduri atau seketiduran dengan orang
yang terlarang atau, sumbang seketiduran)."
Pelaku malaweng pakkita dan malaweng kedo, meski tetap dianggap melakukan perbuatan tercela, tidak mendapatkan hukuman yang keras.
Namun, lain halnya dengan pelaku malaweng luse, dimana perbuatan yang dilakukan disamakan dengan perbuatan binatang (gau olokolok), yang akan mendapat hukuman berat: dihukum mati dengan cara yang sangat mengerikan.
Terhadap pelaku malaweng luse, ada dua pilihan hukuman mati yang dihadapi, yaitu: dengan cara ditenggelamkan ke laut (ri labu) atau dibuang ke tebing.
Perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai malaweng antara lain pacaran, bercumbu rayu, perbuatan cabul yang disetujui bersama atau dengan kekerasan, perzinaan menurut hukum Islam, membuat perempuan hamil di luar perkawinan, perkosaan dan hidup bersama, sebagai suami isteri di luar nikah.
Ada alasan yang sangat mengapa masyarakat bugis sangat menentang malaweng, sebab perbuatan ini dianggap menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat.
Oleh karena itu, tubuh dan darah pelaku malaweng dianggap pantang untuk mengenai tanah Bugis.
Baca Juga: Firaun Tutankhamun, Punya Bentuk Kaki Tak Biasa, karena Jadi 'Korban' Perkawinan Sedarah
Melemparkan keduanya ke dalam laut dipercaya merupakan cara terbaik untuk memenuhi pantangan tersebut.
Malapetaka yang dimaksud, seperit dikutip dari kanon I La Galigo, antara lain “dikutuk oleh bawa langit dan seluruh isi bumi, meratalah gunung-gunung, rebah-runtuh kayu besar, mengering-gersang samudra, menjadi abu sagu, menjelma rumput-rumputan Sang Hiang Sri (Dewi Padi)18, dan punahlah orang-orang di bumi”.
Perbuatan tercela pelaku juga bisa menyebabkan sungai mengering karena lemahnya mata air, tanam-tanaman tidak berbuah, munculnya saling sengketa di masyarakat, hingga segala sumber makan pokok tidak ada.
Jadi, dengan cara menenggelamkan pelaku ke dasar laut, diharapkan keseimbangan dalam masyarakat kembali terjadi.
Baca Juga: Mengenal Sigajang Laleng Lipa, Tradisi 'Mematikan' Suku Bugis untuk Menyelesaikan Masalah
Source | : | Kompas.com,bphn.go.id |
Penulis | : | Ade S |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR