Terhadap pelaku malaweng luse, ada dua pilihan hukuman mati yang dihadapi, yaitu: dengan cara ditenggelamkan ke laut (ri labu) atau dibuang ke tebing.
Perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai malaweng antara lain pacaran, bercumbu rayu, perbuatan cabul yang disetujui bersama atau dengan kekerasan, perzinaan menurut hukum Islam, membuat perempuan hamil di luar perkawinan, perkosaan dan hidup bersama, sebagai suami isteri di luar nikah.
Ada alasan yang sangat mengapa masyarakat bugis sangat menentang malaweng, sebab perbuatan ini dianggap menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat.
Oleh karena itu, tubuh dan darah pelaku malaweng dianggap pantang untuk mengenai tanah Bugis.
Baca Juga: Firaun Tutankhamun, Punya Bentuk Kaki Tak Biasa, karena Jadi 'Korban' Perkawinan Sedarah
Melemparkan keduanya ke dalam laut dipercaya merupakan cara terbaik untuk memenuhi pantangan tersebut.
Malapetaka yang dimaksud, seperit dikutip dari kanon I La Galigo, antara lain “dikutuk oleh bawa langit dan seluruh isi bumi, meratalah gunung-gunung, rebah-runtuh kayu besar, mengering-gersang samudra, menjadi abu sagu, menjelma rumput-rumputan Sang Hiang Sri (Dewi Padi)18, dan punahlah orang-orang di bumi”.
Perbuatan tercela pelaku juga bisa menyebabkan sungai mengering karena lemahnya mata air, tanam-tanaman tidak berbuah, munculnya saling sengketa di masyarakat, hingga segala sumber makan pokok tidak ada.
Jadi, dengan cara menenggelamkan pelaku ke dasar laut, diharapkan keseimbangan dalam masyarakat kembali terjadi.
Baca Juga: Mengenal Sigajang Laleng Lipa, Tradisi 'Mematikan' Suku Bugis untuk Menyelesaikan Masalah
Source | : | Kompas.com,bphn.go.id |
Penulis | : | Ade S |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR