Intisari-Online.com – Baru-baru ini, sebuah video menjadi viral di media sosial.
Dilansir dari wiken.grid.id pada Minggu (16/6/2019), video yang diunggah di Facebook pada Selasa (26/3/2019) tersebut menampilkan seorang wanita yang ditelanjangi oleh warga.
Dalam video berdurasi 36 detik tersebut, disebutkan bahwa si wanita ketahuan mencuri.
Dia pun tampak menangis sembari duduk jongkok dan berusaha menutupi bagian tubuhnya menggunakan tangan.
Sedihnya, sejumlah pria tampak menendangi si wanita yang terus menangis tersebut.
Sementara orang lainnya merekam menggunakan ponsel.
Video tersebut menjadi viral karena tak ada satu pun warga yang terketuk untuk menolong wanita tersebut.
Banyak warganet yang beranggapan bahwa kejadian tersebut tak semestinya terjadi. Terutama apa yang warga lakukan kepada si wanita meski ia terbukti mencuri.
Belum jelas di mana dan kapan pastinya kejadian tersebut terjadi, namun kita bisa menyebut aksi para warga tersebut adalah persekusi.
Tindakan persekusi merupakan tindakan seperti pengeroyokan dan mengarak orang untuk dipermalukan.
Seringkali tindangin ini dilakukan ketika masyarakat memergoki seseorang tengah melakukan kejahatan. Seperti mencuri hingga melakukan hubungan badan.
Persekusi seperti kasus di atas bukanlah hal baru.
Sebelumnya ada sepasang anak yang ditelanjangi setelah dituduh melakukan zinah. Atau kisah seorang pria yang dibakar massa setelah dikira ingin mencuri uang masjid.
Orang yang melakukan persekusi yakin bahwa apa yang mereka lakukan merupakan hukuman sosial dengan memberi efek jera ketimbang hukum negara.
Padahal hal tersebut salah.
Justru dengan Anda melakukan persekusi, Anda melangkahi hukum dan menganggap hukum tak bisa melakukan hal yang benar.
Lebih jauh, persekusi bisa menyebabkan orang yang mengalaminya berisiko mengalami gangguan psikologis.
Kok bisa?
Dilansir dari kompas.com pada tahun 2017 silam, psikolog Universitas Tarumanegara, Untung Subroto Dharmawan, mengatakan persekusi bisa dikategorikan sebagai perilaku menyakiti.
Ada dua bentuk perilaku tersebut, yakni bisa secara verbal dan fisik. Bila secara verbal lebih sering terjadi di media sosial, bila fisik maka terjadi secara langsung.
Untung mengatakan, dampak parah persekusi dari sisi psikologis adalah depresi.
“Dia merasa malu, lemah dan menyalahkan diri sendiri.”
“Dampak lain stres, menarik diri dari lingkungan. Bahkan bisa depresi,” kata Untung kepada Kompas Lifestyle di Jakarta, Kamis (31/5/2017).
Pada remaja, Untung menambahkan, akan muncul kecemasan.
Mereka yang tak pernah mengalami persekusi akan merasa takut dan berisiko mengalami gangguan psikologis general anxiety disorder.
Tak tertutup kemungkinan mereka akan menarik diri dari lingkungan sosial.
Oleh karena itu, Untung melihat bahwa korban persekusi harus segera ditangani.
Korban harus dibawa ke psikolog atau psikiater untuk bisa mengembalikan rasa percaya diri.
“Kalau tidak, dia harus minta dukungan keluarga dan teman-teman,” ujar Untung.
Korban persekusi juga didorong untuk melakukan kegiatan rutin, seperti sekolah, kerja, olahraga atau bersosialisasi.
Bila perlu, korban bisa menutup sumber trauma, salah satunya media sosial.
Adapun para pelaku persekusi dapat dikenakan Pasal 80 ayat 1 juncto Pasal 76c UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan dengan ancaman hukuman diatas lima tahun penjara. (Kahfi Dirga Cahya)
(Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cara Atasi Trauma Persekusi")
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR