Meski belum persis seperti di Negara-negara maju, menurut Hamdi, masyarakat Indonesia sudah cukup rasional dan mandiri dalam berpendapat.
Terutama orang-orang yang disebut sebagai golonganmenengah yang sekarang ini terus bertumbuh.
Jikalau terlihat situasinya seolah-olah sedang panas, mereka tidak merasa harus ikut-ikutan.
Masyarakat juga tidak akan mudah terpengaruh dengan kelakuan para elit politik dan tokoh masyarakat yang mendukung calon-calon presiden tertentu.
Seolah-olah mereka terpecah dan saling berseberangan. Padahal masyarakat juga tahu bahwak semua itu demi kepentingan politik sesaat saja.
“Mereka tidak akan terpengaruh dan cuma menonton,” tutur Hamdi.
Baca Juga: Stres Akibat Jagoan Anda Kalah Pemilu, Tenang Lakukan Beberapa Cara Ini Untuk Menangkalnya
Kalau mau ditilik lebih jauh, kedewasaan masyarakat juga bisa tampak dari mereka yang tidak ikut turun langsung dalam hiruk-pikuk menjelang Pilpres ini.
Sebab tak sedikit dari anggota masyarakat yang bersikap netral atau terlihat tidak memihak, tapi bukan berarti tidak punya pilihan.
Menurut Imam, harus ada peran-peran seperti ini agar masyarakat mendapat informasi yang objektif.
Imam sendiri mengaku ada yang berusaha menariknya untuk menjadi tim dari capres tertentu tetapi ditolaknya.
“Saya lebih fokus kepada lembaga-lembaga sosial dan civil society agar lebih kuat,” tutur dia.
Di tengah hingar binger politik seperti sekarang ini, Imam justru memilih berpera agar masyarakat tidak buta politik, tapi dengan cara tidak terjun ke politik praktis.
Berat peran-peran semacam inilah, harapannya orang akan melek politik dan mampu bersikap.
Baca Juga: Pemilu Pertama Indonesia 1955: Kisah Perselisihan Soekarno-Hatta yang Bersatu Jadi Dwitunggal
Artikel ini telah tayang di Majalah Intisari dengan judul “Dewasa Berpolitik Bukan Gaya Pangkalan Becak” oleh T.Tjahjo Widyasmoro
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Natalia Mandiriani |
Editor | : | T. Tjahjo Widyasmoro |
KOMENTAR