Dalam caption berbahasa Inggris , Elia Saikaly menceritakan kondisi mencekam di puncak tertinggi dunia itu.
"Pada suhu di bawah nol derajat dan oksigen rendah di atmosfer telah membuatnya hampir mati."
"Seluruh tubuh seperti mati rasa akibat hipoksia, yang terpikir hanya hidup atau mati."
Demikian terjemahan dari kutipan caption yang ditulis Elia Saikaly saat ia berada di titik terdekat dari puncak tertinggi dunia.
"Cahaya pagi membuka pintu ke gerbang puncak Everest dan secara paralel (satu per satu) orang kehilangan nyawanya."
"Di sini kita semua mengejar mimpi, dan di bawah kaki kita ada jiwa yang tak bernyawa."
"Apa yang menjadikan Everest seperti ini?"
"Ketika aku mendokumentasikan kondisi ini, pikiranku bergejolak dan berempati pada setiap orang yang berjuang untuk tetap hidup sambil tanpa ragu mempertanyakan kemanusiaan, etika, dan integritas mereka sendiri."
"Apakah ini impian mendaki Everest yang kita bayangkan?"
"Pada ketinggian hampir 9 ribu meter di atas permukaan laut, tidak ada pilihan selain melanjutkan."
"Siapa yang bertanggung jawab di sini? Individu? Perusahaan-perusahaan? Pemerintah?"
"Apakah sudah waktunya untuk menegakkan aturan baru? Akankah segalanya berubah? Apa solusinya di sini?"
Pada bagian akhir tulisan caption postingannya, Elia Saikaly juga memperingatkan supaya calon pendaki yang ingin mencapai puncak dunia supaya membuat pilihan yang lebih aman, etis dan penuh tanggung jawab.
Tak lupa ia sampaikan rasa duka cita bagi mereka yang kehilangan nyawa pada musim pendakian ini, semoga jiwa mereka istirahat dengan damai.
Mountaineering telah menjadi bisnis besar sejak Edmund Hillary dan Tenzing Norgay melakukan pendakian pertama Everest pada tahun 1953.
Baca Juga: Everest Kembali Telan Korban: Mengapa Jasad-jasad 'Abadi' Para Pendaki Everest Terlihat Memilukan?
Penulis | : | Nieko Octavi Septiana |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR