Pada waktu tertentu mereka harus melakukan persembahan ke tiga tempat tersebut.
“Sampai sekarang masyarakat Bali masih menganggap Gunung Agung sebagai tempat suci seperti halnya orang India menganggap G. Mahameru.”
“Semakin tinggi suatu tempat, semakin suci karena di sana dipercaya bersemayam Sanghyang Widi Wasa," kata Shadeg SVD, rohaniwan yang sejak 1950 sudah menekuni budaya Bali.
Tak mengherankan, ada perlakuan-perlakuan khusus terhadap gunung satu ini.
Misalnya zaman itu tak seorang pun berani mendaki ke atas tanpa diiringi pendeta. Itu pun harus membawa sesaji.
Kalau mau naik tidak boleh mengenakan sepatu, arloji. Juga bermacam perhiasan serta uang.
Barang-barang duniawi tersebut bagi dewa-dewa merupakan penghinaan besar.
Di hadapan dewa, manusia harus miskin dan sederhana.
Bagi penduduk sekitar puncak Agung, hubungan emosional khusus dengan gunung ini pun mereka terima seperti halnya “warisan” turun-temurun.
Setiap hari sejak masa kanak-kanak mereka sudah terbiasa melihat Gunung Agung, demikian pula bapak-ibu dan kakek-neneknya serta moyangnya.
Gunung ini menghidupi mereka, memberi air. untuk mengairi tanaman dan kebun serta kebutuhan hidup lairinya.
Maka, ketika harus berhadapan dengan amukan dahsyat lavanya, banyak cerita berbau mistis, irasional mewarnai petaka alam ini.
Apalagi letusan itu awalnya terjadi persis di malam purnama (bulan penuh) yang bagi sebagian besar masyarakat Bali punya arti magis.
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR