Buktinya, ia tak mampu membeli beras sehingga sering tak makan. "Bahkan saya tahu sendiri, pernah diberi uang oleh seorang pejabat yang dibantunya. Namun mbah Arjo tak mau. Malah si pejabat itu diberi uang dollar, yang bentuknya masih baru dan asli. Oleh pejabat dollar itu diterimanya," tutur Widodo.
Heri Noegroho, mengaku mengenal mbah Arjo dengan baik dan ia kagum dengan kesederhanan mbah Arjo. "Dulu (saat masih jadi bupati), saya memang sering ke sana dengan naik sepeda motor. Selain ada kepentingan tersendiri dengan mbah Arjo, juga sekalian ingin mengenalkan destinasi wisata, yakni candi penemuan mbah Arjo (Candi Wringin Branjang) itu," tuturnya, Minggu (14/1/2018).
Kalau soal usia mbah Arjo, Heri Neogroho mengaku tak tahu pasti, namun ia yakin mbah Arjo sudah berusia 100 tahun lebih. Dari sosok mbah Arjo, Heri mengaku banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik. Selain sederhana, ia bisa bertahan hidup di lereng pegunungan dengan makanan yang ada. "Mungkin dengan kondisinya seperti itu, ia jadi awet hidup karena tak berpikiran macam-macam," ujarnya.
Mbah Arjo mengaku telah mengalami Gunung Kelud meletus sebanyak enam kali. Namun ia lupa detail tahunnya. Ia hanya mengingat letusan yang paling dashyat tahun 1990. Saat itu dirinya sudah tinggal di lereng gunung tersebut.
Saat Gunung Kelud meletus, ia tak mau dievakuasi dan tetap tinggal di gubuknya itu bersama anaknya. "Padahal saat itu ketebalan abunya di desa kami saja sampai 1 meter. Namun, ketika mbah Arjo mau dievakuasi, nggak mau.
Malah bilang saya nggak usah dievakuasi karena saya sudah kenal semua dan teman saya di sini banyak. Padahal di gubuknya itu, ia hanya tinggal berdua dengan anaknya. Namun katanya temannya banyak," papar Widodo.
Baca Juga: Cerita Orang Terkaya Tertua di Dunia yang Masih Bekerja di Usia 100 Tahun, Alasannya?
Baru saat terjadi letusan Genung Kelud tahun 2014 lalu, mbah Arjo dan anaknya, dievakuasi paksa meski sempat menolak. Warga khawatir mbah Arjo terkena imbas dari letusan karena jika meluap, kali lahar akan lewat di depan tempat tinggal mbah Arjo. "Katanya, saya nggak usah dibawa pergi, wong di sini saya sudah ada yang memayungi. Tapi kami nggak tega. Ya saat itu kami ke balai desa," ungkapnya.
Meski mbah Arjo mengaku tak pernah pergi ke mana-mana, namun dia memiliki banyak pengalaman yang berharga. Ia bercerita, saat zaman perjuangan, ia sering bertemu Bung Karno dan Supriadi, pahlawan Pembela Tanah Air (PETA).
Saat itu, ia masih tinggal di Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan. Oleh Bung Karno dan Supriadi, ia disuruh menemani melakukan ritual di lerang Gunung Gedang, yang kini menjadi tempat tinggalnya.
"Saat itu saya sudah tua. Pak Karno dan Pak Supriadi masih jejaka. Sehingga kalau memanggil saya mbah," papar mbah Arjo. Mereka bertemu pada suatu malam, dan disuruh menemani ritual di lereng Gunung Kelud itu.
"Kalau ritual, saya hanya duduk di sampingnya sampai terdengar ayam berkokok. Namun, antara pak Karno dan Pak Supriadi, seingat saya tak pernah melakukan ritual bersama di sini. Saat itu saya lupa sedang terjadi peristiwa apa di Indonesia. Namun sepertinya sebelum kemerdekaan," katanya.
Menurut mbah Arjo, saat Bung Karno sering ritual di tempatnya dulu, kondisinya masih hutan belantara bahkan masih banyak binatang buas. Tempat duduk yang dipakai ritual Bung Karno itu, kini letaknya di dalam gubuknya.
Baca Juga: Ketika Soekarno Marah di Gedung Putih dan Buat Kagum Kongres AS, Apa Sebabnya?
Dari pengalaman spritualnya itu, ia akhirnya memilih meninggalkan kampungnya dan tinggal di gubuk itu sejak tahun 1990-an. "Selama tinggal di sini, saya memang sering bermimpi bertemu Pak Karno. Bahkan dalam mimpi saya itu, Pak Karno sering berkunjung ke sini," ujarnya.
Ditanya soal tips hidupnya, dalam usia tua masih sehat, ia mengaku tak punya tips apa-apa. Setiap hari, ia hanya makan sayuran yang ditanam sendiri dan banyak minum air putih. Ia tidak pernah makan lauk pauk karena memang tidak ada yang dimakan.
"Pesan saya jangan banyak pikiran, agar tak selalu kepikiran. Jangan menyakiti orang, supaya tak jadi beban. Seperti saya tinggal di sini ini. Siapa yang saya sakiti wong tak ada orang lain selain anak saya," ujarnya.
Selama hidupnya, ia mengaku baru setahun ini merasakan sakit pada kakinya yang tiba-tiba tak bisa digerakkan. Padahal, sebelumnya ia masih bisa menanam sayur-sayuran seperti bayam, mencari kayu bakar, dan mandi ke sungai yang ada di belakang rumahnya.
Namun, saat ini segala kebutuhannya dilayani anaknya. "Saya ini nggak pernah sakit, bahkan pilek (flu) saya nggak pernah. Soal makanan, ya seadanya. Wong saya sering puasa, karena memang keadaannya tak ada yang dimakan lebih. Kecuali, minum air putih dan makan apa yang ada," pungkasnya. (Rachmawati)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Mbah Arjo, Manusia Tertua di Indonesia yang Meninggal Usia 193 Tahun Mengaku Pernah Temani Soekarno Ritual
Penulis | : | Nieko Octavi Septiana |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR