Akhirnya, tentara Republik Indonesia—yang resmi—berhasil menemukannya. Anderson, yang asal Kalgoorlie, Australia, sejak hari itu menjadi tawanan perang.
Kemudian, dia dibawa ke sebuah rumah sakit di Mojokerto untuk mendapatkan perawatan medis.
Pada suatu hari, seorang perempuan bule muda menemui Anderson.
Lengan perempuan itu menyandang ban lambang revolusi pejuang Republik: Merah-Putih.
Dia mendapat tugas dari Amir Sjarifoeddin Harahap, Menteri Pertahanan Republik Indonesia, untuk menyelidiki keadaan Anderson dan kebutuhan tawanan perang.
Saat itu ibu kota negara berada di Yogyakarta.
”Semua beres,” kata Anderson kepadanya.
”Belum pernah aku diperlakukan sebaik di tempat ini!"
"Para dokter dan perawat di sini ramah sekali.”
Bahkan, seorang perwira Republik kerap menjenguknya sembari menawarkan beberapa batang rokok, sekedar bercakap-cakap.
Kalau sang perwira itu tidak ada, demikian kata Anderson, ”Perawat-perawat yang manis-manis dan pandai berbahasa Inggris biasa masuk kemari dan mengajakku mengobrol.”
Lalu dia melanjutkan percakapannya dengan perempuan itu, ”Aku heran diperlakukan sebaik ini, karena aku seharusnya dianggap musuh.”
Anderson memberikan alamat ibundanya seraya berkata, ”Tolong kabarkan padanya bahwa aku selamat dan tidak lama lagi akan pulang.”
Anderson tidak sendiri, ada seorang penerbang Inggris yang turut dirawat di rumah sakit itu.
Pada saat yang sama, sebanyak 200 tentara Republik tengah ditawan dalam sel oleh Inggris di Jakarta.
Bisa saja keduanya dijebloskan dalam kamp tawanan, namun Amir memilih menyelamatkan mereka ke tempat yang lebih aman.
Perempuan bule yang berada di pihak Republik itu bernama Muriel Stuart Walker—keturunan suku Viking yang sohor atas keberaniannya.
Dia berada di Indonesia selama lima belas tahun, 1932-1947.
Awalnya dia tinggal di Bali, diangkat sebagai anak oleh Raja Bali yang memberinya nama lokal ”K’tut Tantri”—media asing kerap salah menuliskan namanya sebagai ”Miss Daventry”.
K’tut Tantri mengisahkan perbincangan dengan Anderson. ”Selama berbicara dia tidak bisa duduk tenang,” ungkap Tantri, ”melonjak-lonjak terus seperti kanguru.”
Penulis | : | Nieko Octavi Septiana |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR