Intisari-Online.com – Seperti halnya daftar negara paling bahagia atau negara paling aman, ada juga peringkat yang dibuat suatu badan untuk mengetahui negara mana saja yang 'rapuh'.
Bedanya, untuk kategori yang ini mungkin tidak ada negara yang menginkan berada di peringkat utama.
Dilansir dari website Fragile States Index (FSI), daftar peringkat negara yang rapuh untuk tahun 2019 juga telah dirilis pada April silam.
FSI sendiri diproduksi oleh Fund for Peace, dibuat sebagai alat untuk menyoroti tidak hanya tekanan normal yang dialami negara, tapi juga mengidentifikasi kapan tekanan itu bisa mendorong negara menuju kegagalan.
FSI dengan kerangka ilmu sosial serta aplikasi perangkat lunak yang digunakan menjadi landasannya, membuat penilaian dari risiko politik dan peringatan dini konflik.
Hasil dari penilaian yang dilakukan pada 178 negara dapat diakses masyarakat luas melalui laman fragilestatesindex.org.
Lalu untuk tahun 2019, apakah Indonesia masuk dalam peringkat atas negara rapuh?
Dilihat dari laman web FSI, ternyata Yaman baru saja dinobatkan sebagai negara paling rapuh dalam Indeks Fragile States Fund for Peace 2019 dengan skor kerapuhan 113,5. Sementara Negara yang paling tidak rapuh alias berada di peringkat terakhir adalah Finlandia dengan skor 16,9.
“Tahun ini Yaman mengklaim posisi teratas untuk pertama kalinya sebagai akibat dari perang saudara dan bencana kemanusiaan,” jelas JJ Messner, Direktur Eksekutif Fund for Peace.
“Perhatian terbesar harus diberikan pada perburukan yang cepat selama decade terakhir, da ketidakstabilan regional, serta permainan kekuasaan yang membuat penduduknya sangat menderita,” lanjutnya.
Dikutip dari Big Think, antara kedua negara ini terletak seluruh spektrum stabilitas nasional. Berita baiknya adalah kondisi bagi sebagian besar orang di dunia perlahan membaik, kata JJ Messner, Direktur Eksekutif Fund for Peace. "Untuk semua pers negatif, ada kemajuan signifikan yang terjadi di latar belakang," katanya.
Baca Juga: Ini Dia Warga Negara yang Paling Banyak Belanja Selama Haji dan Umroh, Adakah Indonesia?
Lima negara yang paling rapuh, yang terdiri dari kategori Peringatan Sangat Tinggi, adalah Yaman, Somalia, Sudan Selatan, Suriah, dan Republik Demokratik Kongo. Dalam kategori Peringatan Tinggi adalah Republik Afrika Tengah, Chad, Sudan, dan Afghanistan.
Paling Memburuk
Venezuela dan Brasil terikat untuk gelar Negara yang Paling Memburuk. Politik telah memecah belah kedua negara. Pemilihan Venezuela tahun lalu menambah kesengsaraan ekonomi dan sosial yang sudah berlangsung lama. Skor Brasil telah menurun dalam masing-masing dari enam tahun terakhir karena masalah ekonomi, korupsi dan menurunnya layanan publik telah menelan korban.
Negara lain yang peringkatnya turun tajam dalam daftar 2019 adalah Nikaragua, Inggris, Togo, Kamerun, Polandia, Mali, Yaman, Tanzania, Honduras, dan Amerika Serikat. Libya, Suriah, Mali, Yaman, Venezuela, dan Mozambik adalah negara-negara yang mengalami penurunan tercepat dalam dekade terakhir.
Setiap warga negara Inggris yang khawatir melihat peringkat negara mereka sebagai yang paling buruk keempat akan menemukan bahwa tiga dari 12 indikator yang digunakan untuk menyusun indeks sebagian besar berada di belakang skor rendah: perilaku elit penguasa, divisi sosial dan legitimasi negara.
Penulis menunjukkan pengaruh Brexit sebagai faktor. Tetapi mereka mengatakan bahwa memburuknya skor Inggris jangka panjang mendahului referendum negara itu tentang keanggotaan Uni Eropa.
Bahkan sebelum 2016, para penulis mengatakan Inggris memiliki tren terburuk ketujuh untuk tiga indikator yang sama, dan menyarankan masalah negara itu mengakar dan tidak mungkin diselesaikan dengan meninggalkan Uni Eropa.
Baca Juga: Jalan-jalan Sambil Belajar, 5 Negara Ini Bisa Masuk Bucket List untuk Disambangi Saat Ramadan
AS berhasil masuk dalam kategori Most Worsened berkat skor buruk di kategori yang sama dengan Inggris ditambah skor pada hak asasi manusia dan penghormatan terhadap hukum, sebagian mencerminkan perpecahan politik, kontroversi hukum dan masalah imigrasi.
Sementara untuk lawan kategori di atas, yaitu daftar Negara paling membaik adalah Ethiopia dengan skor penurunan indeks kerapuhan sebesar -5,3, disusul Kenya, Uzbekistan, Gambia, dan Nepal, dengan masing-masing skor yaitu -3,8. -3,4, -3,2, dan -3,2.
“Setelah mendapat peringkat sebagai Negara paling buruk di FSI 2017, Ethiopia telah melakukan perubahan yang luar biasa tahun ini.
Peringkat sebagai Negara yang paling berkembang setelah agenda reformasi ambisius yang telah mengarah pada inklusivitas politik lebih banyak, meruntuhkan sistem etno-sentris sebelumnya yang dipertahankan Negara selama beberapa dekade,” papar Messner seperti dikutip dari laman FSI.
Namun gambaran global tidak sepenuhnya suram. Kuba dan Georgia terikat sebagai negara yang paling berkembang dalam indeks selama dekade terakhir. Mauritius menjadi negara Afrika pertama yang mencapai status sebagai Sangat Stabil, sementara Singapura adalah negara Asia pertama yang masuk kategori Berkelanjutan, bergabung dengan orang-orang seperti Selandia Baru, Swedia dan Luksemburg.
Baca Juga: Ngeri, Payudara para Wanita di Negara Ini Disetrika, Demi Menekan Angka Kejahatan Seksual
Kemajuan di Afrika tercermin oleh Botswana dan Seychelles yang bergabung dengan kategori Stabil.
Messner mengatakan: "Tentu saja, masih ada banyak konflik, kemiskinan, dan ketidaksetaraan di dunia. Tetapi data menunjukkan bahwa mayoritas negara secara bertahap melakukan perbaikan, memberikan masa depan yang lebih penuh harapan bagi rakyat mereka."
12 kategori indeks, yang menjadi tolok ukur negara adalah: situasi keamanan dan respons; perilaku elit penguasa; divisi sosial; performa ekonomi; ketimpangan ekonomi; emigrasi; legitimasi negara; layanan publik, hak asasi manusia dan supremasi hukum; tekanan demografis; pengungsi; intervensi eksternal.
Indonesia
Indonesia sendiri tahun ini bertengger di peringkat 93 dari 178 dengan total skor kerapuhan 70,4. Dibanding tahun sebelumnya, Indonesia mengalami sedikit peningkatan dengan berkurangnya skor sebesar -1,9.
Meski begitu, Indonesia tetap menjadi Negara yang perlu diwaspadai mengenai kerapuhan negaranya.
Source | : | Big Think,FSI |
Penulis | : | Nieko Octavi Septiana |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR