Intisari-Online.com - "Cinta adalah apa yang tersisa setelah api jatuh cinta padam", begitu kata pepatah.
Cinta dan romance adalah dua hal yang kerap berbeda dan Munir serta Suciwati mengerti bahwa cinta bukanlah rasa meletup-letup ala film Hollywood.
Cinta bagi mereka bukan hanya kegiatan fisik dua manusia.
Cinta punya implikasi yang luas: membangun masyarakat. Memperkuat bangsa. Berbakti kepada Tuhan melalui pengabdian untuk sesama.
Baca Juga: Aktivis Anti Kekerasan Munir Thalib Ternyata Ketularan Suka Musik Klasik Gara-gara si Kecil
Kecintaan Munir terhadap keadilan dan kemanusiaan bisa kita telusuri lewat kehidupan Ibu Jamilah atau Umi, begitu beliau dipanggil.
Terkesan intelek tanpa pernah mengecap pendidikan formal sedikitpun.
Perempuan tangguh ini berhasil mendidik -bukan sekadar membesarkan- tujuh anak, seorang diri.
Waktu Munir berusia 11 tahun, sebuah dokar yang ditarik sapi menabrak mobil yang ditumpangi ayahnya.
Setelah seminggu dirawat di RS, Abah -panggilannya-, akhirnya mengembuskan napas terakhir.
Umi lantas bahu-membahu dengan anak-anaknya menjaga toko sepatu milik keluarga. Munir kecil juga belajar melayani pembeli.
Tawar-menawar harga lantas menjadi bagian integral dari kesehariannya.
Baca Juga: Munirpad, Nama Jalan Sepeda di Belanda untuk Menghormati Pejuang HAM Munir
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Natalia Mandiriani |
Editor | : | T. Tjahjo Widyasmoro |
KOMENTAR