Peningkatan konsumsi madat di Portugis mempengaruhi perdagangan India. Bangsa Portugis melihat kegiatan penjualan madat sebagai peluang emas.
Mereka pun menjual kembali barang haram itu ke Cina. Pada abad ke-17 posisi pedagang Portugis digantikan bangsa Belanda.
Baca Juga : Demi Guyuran Dolar, Para Tentara Bayaran AS Ini Rela Menyabung Nyawa dalam Perang Narkotika di Kolombia
Pedagang dari Negeri Kincir Angin ini lalu melebarkan sayapnya hingga ke kepulauan di AsiaTenggara (baca: Indonesia) sebanyak 50 ton setahun sejak tahun 1650.
Belanda juga mendapat hak monopoli untuk menjual madat ke Jawa, yang pada saat itu penduduknya sudah padat.
Keuntungan Belanda dari perdagangan ini sangat spektakuler. Dengan membeli candu lebih murah dari India, mereka menjualnya dengan harga tinggi di Jawa. Kartel Belanda (VOC) memperoleh keuntungan 400%!
Untuk melancarkan perdagangannya pemerintah Belanda memberikan izin tempat-tempat tertentu untuk dijadikan tempat menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal berdasarkan undang-undang.
Baca Juga : Anjing K9 yang Bertugas Mencari Narkotika di Kapal Win Long BH 2998 Kelelahan di Tengah-tengah Tugasnya
Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan undang-undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).
Dalam suatu survei yang dilakukan pasca-lndonesia merdeka diketahui, penggunaan madat di kalangan remaja di Indonesia dan beberapa negara diawali dengan mencoba rokok.
Kemudian pengedar gelap menawarkan rokok secara cuma-cuma yang sengaja dicampur zat madat.
Untuk mencegah munculnya dampak buruk madat, sejak 1971 Presiden Rl mengeluarkan Instruksi No. 6/1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang dikenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Katharina Tatik |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR