Badan besar sedikit gemuk itu diikat agar tetap berdiri tegap sebelum eksekusi dan tidak jatuh tersungkur setelah menjalani hukuman mati.
Kepalanya juga diselubungi kantung kain agar mimiknya tidak terlihat regu tembak.
Di atas dua bilah papan, telapak kakinya yang telanjang itu ikut menahan beban tubuhnya.
Di sekeliling kakinya diberi daun-daun kelor yang konon merupakan "penawar" bila seseorang mempunyai jimat.
Saya berada tak jauh di depannya mengamati apakah posisinya sudah benar dan ikatan talinya cukup kuat.
Detik-detik terakhir sebelum peluru menghunjam tubuhnya, tiba-tiba dia memanggil-manggil nama saya.
"Pak Darto, pak Darto (bukan nama sebenamya)!" Saya terkejut dan mendekat.
"Pak Darto, dengan ini saya mengucapkan terima kasih. Bapak sudah memberitahu akan dilaksanakannya hukuman mati kepada saya. Saat ini pula saya menyesal atas perbuatan yang saya lakukan. Saya menitipkan jenazah saya nanti pada Pak Darto dan minta tolong diserahkan kepada keluarga saya," pintanya.
Bulu kuduk saya berdiri mendengar kata-katanya. Kesempatan ini saya pergunakan untuk memberi pengertian kepadanya, bahwa saya hanya sebagai petugas yang mendapat perintah untuk melaksanakan hukuman mati.
Dia menjawab, "Saya tahu."
Kemudian saya lanjutkan, "Sebentar lagi Saudara akan menghadap Tuhan, persiapkanlah diri Saudara baik-baik."
Lalu, dia mengucapkan terima kasih untuk terakhir kalinya. Regu tembak yang terdiri atas dua belas orang tamtama dan seorang bintara dibawah pimpinan seorang perwira telah berdiri berjajar berhadapan dengan tereksekusi.
Jarak yang memisahkan mereka ± 6 m. Senapan yang baru mereka terima pagi hari itu telah mengarah ke jantung Bobby.
Di antara senjata itu ada yang berisi peluru dan ada pula yang kosong. Salah seorang dari mereka berdiri di belakang regu tembak sambil memegang baterai untuk menerangi terhukum.
Tak jauh dari mereka, berdiri petugas lain yang terdiri atas dokter, dan pegawai penjara. Komandan regu tembak berdiri agak ke samping dengan memegang sebilah pedang.
Dari tempatnya, sang komandan memberi aba-aba siap tembak kepada bawahannya berupa ayunan pedang.
Beberapa detik kemudian, muntahlah berondongan peluru menuju jantung Bobby. Tak lama setelah itu kepalanya tertunduk.
Dokter memeriksanya dengan stetoskop dengan diterangi baterai. Lima butir peluru bersarang di jantungnya. Dia dinyatakan meninggal saat itu juga.
Itulah akhir dari riwayat kejahatan yang panjang. Dimulai dari kejahatan kecil yang meningkat menjadi besar dan sering diwarnai dengan pembunuhan.
Terakhir, pada tahun 1963, dia merampok uang Rp24.500.000,00 milik suatu bank di lakarta dan membunuh dua karyawan bank itu. Dalam kasus ini, ia dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada bulan Desember 1964.
Baca Juga : Warga China 'Mengamuk' di Batam Karena Dituntut Hukuman Mati, Apa Penyebabnya?
KOMENTAR