Advertorial

Tiba-tiba Memedi di Mana-mana, ke Mana Senyum dan Tawa Indonesia?

Hery Prasetyo
,
Yoyok Prima Maulana

Tim Redaksi

Pameran tunggal Memedi Sawah oleh Hari Budiono dengan judul Jangan Takut Memedi Sawah.
Pameran tunggal Memedi Sawah oleh Hari Budiono dengan judul Jangan Takut Memedi Sawah.

ADA ketakutan yang mencekam, jerit pilu, luka yang mengiris hati, pun kepedihan yang bisa menguras air mata ketika tertampar dalam pameran Memedi Sawah oleh seniman Yogyakarta, Hari Budiono, di Balai Soedjatmoko Solo, 14-20 Maret 2019.

Lalu, lagu Ibu Pertiwi karya Ismail Marzuki yang syairnya ditulis dalam 15 kanvas dan dibawa memedi sawah itu, serasa menegaskan kepedihan negeri ini.

"Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati. Air matanya berlinang. Mas intanmu terkenang..."

Ya, Indonesia. Negeri yang rukun-makmur, toleran, gotong royong, penuh kasih dan murah senyum serta banyak tawa, ternyata makin berubah.

Kenyataan kemasyarakatan Indonesia makin hari makin jauh dari gambaran indah itu.

Ujaran kebencian berseliweran, bahasa nyinyir makin menonjol dalam komunikasi kebangsaan dan kemasyarakatan.

Bahkan, tiba-tiba banyak manusia secara individu maupun kelompok menjadi menakutkan.

Di jalanan, di televisi, di keseharian hidup banyak yang berwajah garang dan menakutkan, bahkan sengaja menyebar ketakutan.

Potret sosial ini yang kemudian direspons Hari Budiono dalam pameran tunggal berjudul "Jangan Takut Memedi Sawah".

Hari Budiono membuat pameran instalasi dengan menghadirkan 115 memedi sawah, terbuat dari alang-alang Gunung Merapi.

Sebanyak 15 memedi sawah memegang kanvas-kanvas potongan syair Ibu Pertiwi.

Sedangkan 100 memedi sawah lainnya memegang potret-potret manusia Indonesia, baik yang terkenal maupun orang biasa, dalam tawa penuh cinta.

"Memedi sawah itu bagi petani adalah berkah, karena membantu menjaga sawah. Mereka menakut-nakuti burung-burung agar tak makan padi," jelas Hari Budiono.

Namun, tiba-tiba ia melihat memedi sawah itu menjelma menjadi sebagian manusia Indonesia.

Sehingga, banyak tokoh dan manusia biasa berubah karakter menjadi garang dan menakutkan, seperti memedi sawah yang menakutkan para burung.

Bedanya, memedi sawah yang menjelma manusia saling menakut-nakuti sesama manusia.

Seolah, ketakutan dan teror menjadi fenomena untuk kepentingan berbabagai tujuan.

Bahkan, komunikasi mesra dan sopan santun, tiba-tiba terpinggirkan oleh komunikasi nyinyir dan bernada ancaman.

Di realitas sosial maupun di dunia maya, wajah dan karakter manusia-manusia semakin banyak yang seperti memedi sawah: menakutkan dan menakut-nakuti.

Hoax dan fitnah pun dengan enteng terlontar atau bahkan menonjol dalam format komunikasi masyarakat dan kebangsaan.

Lalu, ke mana senyum dan tawa Indonesia yang dulu menjadi wajah indah negeri ini?

Lewat pameran ini, Hari Budiono mencoba mengingatkan kenyataan sosial ini.

Jika 100 memedi sawah membawa potret-potret wajah tertawa, ia ingin mengajak masyarakat melawan ketakutan dan teror dengan senyuman dan tawa.

Sebab, dalam senyum dan tawa mengandung kasih dan cinta, pun penuh ajakan bahagia bersama.

"Harapannya, memedi sawah kembali ke habitatnya. Menjadi penjaga sawah yang membantu petani dan ikut mendatangkan berkah," ujar Hari Budiono.

"Jangan lagi memedi sawah menjelma menjadi manusia yang saling menakuti hanya demi tujuan-tujuan ekonomi maupun politik," tambahnya.

Seniman tari dan pengelola Padepokan Lemah Putih, Soeprapto Soerjodarmo, juga sepakat dengan pandangan Hari Budiono.

"Saya kira, kenyataan memang seperti itu. Saya akan meresponsnya dengan gerak," kata seniman tari yang akrab dipanggil Mbah Prapto ini.

Pada pembukaan pameran ini, Kamis (14/3/2019), Mbah Prapto akan menampilkan karya geraknya sebagai bagian dari urun keprihatinan dan partisipasi mengajak kembali kepada keramahan berbangsa dan bertanah air.

Hari Budiono memang mengajak kita untuk tak takut "memedi sawah" dan melawan teror ketakutan mereka dengan senyum dan tawa.

Proses kreatif selama 1,5 tahun itu juga menghadirkan beberapa lukisan sebagai respons sosial.

Ada lukisan berjudul "Dasamuka", "Panggung Sandiwara", "Warna-warni Ayam Nagari", "Menggantung Cemas", "Jula-juli Tahu Garit", Babi Tanah 2019, dan "Meletus Balon Hijau".

Semua lukisan itu juga bagian dari upaya dia memotert kenyataan sosial yang menurutnya mengancam ketentraman dan harmonisasi kemasyarakatan dan kebangsaan.

Sebagai seniman, harapan dia pameran ini bisa mengajak orang untuk kembali menebar senyum dan tawa.

"Sebab, senyum dan tawa memiliki resonansi positif yang menyejukkan dan ada kekuatan kasih serta persahabatan yang kuat," katanya.

Indonesia yang damai-sentosa, penuh persahabatan dan keramahan, gotong-royong dan saling memaafkan, menjadi potret realita.

Tersenyum dan tertawalah, Indonesia. (Hery Gaos)

Artikel Terkait