4. Berawal di Makassar
Makassar menjadi ladang pencarian untung pertamanya. Ia menjajakan biskuit dan kembang gula berkeliling menggunakan sepeda. Hanya dalam waktu dua bulan, ia telah merengguk untung Rp 20, jumlah yang sangat besar saat itu.
Namun, tiba-tiba, Jepang menyerbu Indonesia, termasuk Makassar. Invasi tersebut membuat usahanya hancur total. Keuntungan Rp 200 yang sudah dikumpulkan susah payah selama beberapa tahun habis dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tak ingin putus asa, Eka memilih bangkit. Dengan sepeda bututnya, ia keliling Makassar hingga ke Paotere, sebuah wilayah di pinggiran ibu kota Sulawesi Selatan itu.
Ia melihat tumpukan terigu, semen, dan gula di camp tawanan pasukan Belanda. Dengan otak bisnis yang encer, Eka memanfaatkan hal tersebut dengan membuka tenda di sana dan menjual makanan serta minuman kepada tentara Jepang yang berada di sana.
Eka pun membawa kopi, gula, kaleng bekas minyak tanah yang diisi air, oven kecil berisi arang untuk membuat air panas, cangkir, sendok, dan sebagainya. Ia juga menjual ayam matang.
Mulanya, dagangannya tidak laku. Ia pun memutuskan untuk mendekati bos pasukan Jepang dan mentraktirnya makan dan minum di tenda.
Setelah mencicipi seperempat ayam komplit dengan kecap cuka dan bawang putih, minum dua teguk whisky gratis, komandan tersebut kemudian memperbolehkan anak buahnya dan tawanan makan minum di tenda Eka.
Tak berhenti sampai sana, ia kemudian bekerja keras untuk memilih barang mana saja yang masih bisa dipakai dan dijual.
Baca Juga : Tantangan 'Berat' untuk Mochtar Riady, Salah Satu Orang Terkaya di Indonesia Tahun 2018
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR