Baca Juga : 144 Emoji Baru Ini Merepresentasikan Pasangan Beda Ras
Dengan begitu, pria menjadi dewasa dan matang pada umur yang lebih tua dibandingkan dengan wanita.
Namun itu bukan hal yang mutlak. Pada tahap perkembangan, memang wanita lebih dewasa dibandingkan dengan pria pada umur yang sama. Tapi pada umur-umur yang lain, tunggu dulu.
"Misalkan, wanita umur 25 tahun kawin dengan pria sebaya. Sebagai psikolog saya bilang, belum tentu si wanita lebih dewasa dibandingkan si pria.
(Dalam beberapa pembicaraan, Dewi malah sering menegaskan bahwa perkawinan pasangan usia setara justru sering kali ditandai dengan ketidakcocokan karena mereka memiliki ambisi dan kepentingan yang kira-kira sama, serta berada dalam perkembangan yang kira-kira sama juga, sehingga benturannya menjadi banyak).
Masalah lingkungan juga sangat besar pengaruhnya. Memang itu individual sebab psikologi memang mempelajari manusia secara individu," kata Dewi.
Komitmen dan skenario
Yang perlu ditengarai soal need tadi adalah karena ekonomi. Inilah yang menimpa pasangan Meiska (26) dan Arman (51).
Dalam usianya yang muda, tentu darah muda Meiska minta penyaluran dalam lingkup sosial yang sesuai. Entah di pub, disko, atau nonton.
Sementara Arman tak punya waktu dan minat untuk kegiatan rekreatif seperti itu. Andai ia memaksa kumpul dengan teman-teman Meiska, pembicaraannya tidak "nyambung".
Baca Juga : 6 Tahun Berlalu, Beginilah Foto Terbaru Pasangan Ini Bersama Anak Kembar 6 Mereka
Keadaannya juga menjadi terbalik manakala Meiska memasuki "dunianya" Arman bersama kolega-koleganya.
"Saya tidak tahu apa yang menarik dalam pembicaraan mereka. Soal bisnis ini, pengusaha itu, uang ketat, dan tetek bengek lainnya. Rasanya saya mirip orang bodoh," tutur Meiska.
Menyadari bahwa ada yang tidak biasa dalam langkah mereka adalah sebagian kunci bagi pasangan BUJ dalam menjalani perkawinan.
Kesadaran itu memaksa masing-masing untuk mengenal pasangannya lebih intensif. Jatuh cinta memang sulit dikendalikan.
Baca Juga : Heboh, Pasangan Tanpa Busana Berpose Tak Senonoh di Atas Piramida, Ternyata Ini Profil si Pria
Tapi, "Cinta bisa ditata serta dibahas secara objektif dan rasional. Kenapa saya jatuh cinta pada dia? Apa yang membuat saya mencintai dia? Apakah benar dia orang yang penuh perhatian, sabar, mengayomi, dan sebagainya? Ketika masuk dalam kehidupan dia, Anda harus pasang radar, tangkap sinyal-sinyal. Apakah yang ditampilkan itu murni atau tidak. Di sini paling tidak Anda mendapat masukan yang bisa menjadi bahan pertimbangan," ujar Ieda.
Jika sudah sadar, "Tak ada salahnya membuat skenario, lho!" saran Eileen. Bukankah film yang baik juga berasal dari skenario yang kuat?
"Semisal, usia perkawinan saya nanti paling berumur 15 atau 20 tahun. Nah, setelah itu harus bagaimana?"
Tapi kesadaran dan skenario belumlah cukup. Dewi menekankan pada komitmen yang harus mereka buat sebelum masuk ke bahtera perkawinan.
Baca Juga : Punya Pasangan Pria Malas Memang Bikin Sebal, Ini Cara Memperbaikinya
Mitos mengatakan, dalil perkawinan 50 - 50. "Setiap orang ingin mencari keseimbangan. Masalahnya, apakah dalam kehidupan bersama itu pembagian 50 - 50 bisa tercapai? Tidak, 'kan? Di situlah pentingnya komitmen," tandas lulusan Fakultas Psikologi ini.
Terakhir, menerima keadaan pasangan apa adanya. "Jangan beranggapan bisa mengubah pasangan Anda. Itu tak mungkin. Cara paling baik adalah mencoba memahami dan menerimanya," kata Dewi.
Dalam usaha itu diperlukan "bumbu". Soalnya, bahan dasar cinta saja tak cukup. Menerima ini termasuk kesediaan untuk membimbing pasangan. Dewi menyebutnya sebagai tanggung jawab moral si tua.
"Itu kalau mereka, menganggap perkawinan sebagai suatu hal yang sangat penting. Bukan sekedar show of force bahwa akhirnya saya dapat dia atau lingkungan tahu saya sanggup mempersunting dia."
Baca Juga : 5 Hal Sederhana yang Bisa Dilakukan oleh Pasangan Agar Hubungan Tetap Kuat, Salah Satunya Tertawa
lika sudah begitu, tunggu apalagi. Lebih-lebih sekarang ini, menurut Dewi, masyarakat sudah lebih toleran terhadap hal itu. Jadi, jika pasangan Anda beda usianya sangat jauh, tak perlu malu mem-plengkung-kan janur.
Asal sudah tahu konsekuensinya. (Yds/Als)
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR