Di hamparan tanah luas itu, Mbah Parno melihat proyek.
"Saya nengok 'wah ada proyek nih', saya turun dan coba ikut. Kata mandornya 'silakan, ini proyek besar, butuh orang banyak sekali'," kenang Mbah Parno.
Mbah Parno pun bergabung sebagai kuli di proyek pembangunan masjid terbesar se-Asia Tenggara kala itu.
Pekerjaannya melelahkan, namun ia tak merisaukan tempat tinggal sebab ia bisa tidur di proyek.
Sejak pemancangan tiang pertama oleh Presiden Soekarno pada 24 Agustus 1961, Mbah Parno telah berganti-ganti pekerjaan di Masjid Istiqlal.
Mulai dari kuli, pelayan sang arsitek Frederich Silaban, hingga pengantar surat ketika masjid itu jadi.
"Namanya untuk menyambung hidup, apa saja saya lakukan yang penting kerja," kata Mbah Parno.
Mbah Parno menikah tak lama setelah Masjid Istiqlal rampung. Ia kemudian tinggal di Kemayoran dan punya lima anak.
Setiap hari, Mbah Parno jalan kaki dari rumahnya ke Masjid Istiqlal. Jalan kaki itu sudah menjadi kebiasaan dan terus dilakukan hingga saat ini.
"Saya enggak wajib datang, absen, sebenarnya. Sekarang cuma boleh datang seminggu sekali," kata Mbah Parno.
Dua dari lima anak Mbah Parno, Novi dan Ardi, kini bekerja di Istiqlal meneruskan pengabdian sang bapak.
Baca Juga : Hati-hati Jika Muncul 3 Tanda Ini di Kuku karena Bisa Saja Tunjukkan Masalah Kesehatan Anda
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Adrie Saputra |
KOMENTAR