Ibu juga berusaha meyakinkan bahwa segalanya akan beres dan masa depan yang baik bila saya menikah dengan Mas Herjuno.
Desakan Ibu inilah yang mencairkan ketakutan saya. Maka saya pulang ke Indonesia dengan perasaan lebih enteng.
Saya melanjutkan kuliah. Tapi hanya setahun. Karena, akhirnya tibalah hari itu. Kemudian saya pikir, ah, kalau namanya jodoh, lari ke mana pun akan tertangkap juga.
Baca Juga : Sri Sultan Hamengku Buwana IX Enggan Merayakan Pengangkatannya
Menyesali pernikahan
Tanggal 18 Mei 1973, kami dinikahkan di Keraton Yogyakarta. Setelah itu kuliah tidak saya lanjutkan lagi. Bersama kami dinikahkan pula tiga kakak perempuan Mas Herjuno.
Ketika itu usia saya 20. Sedangkan Mas Herjuno 25. Terus terang saya menyesal. Saya merasa masih terlalu muda untuk menikah.
Sejak saat itulah saya meninggalkan Jakarta, ikut suami ke Yogyakarta. Kami tidak tinggal di dalam Keraton, melainkan di daerah Madukismo (kawasan pinggiran kota Yogyakarta, terkenal dengan pabrik gula di mana Keraton mempunyai banyak saham di situ, Red).
Kami menetap di sana 11 tahun, hingga akhir Februari 1989 kami pindah ke dalam Keraton.
Baca Juga : Nasihat Sri Sultan Hamengku Buwana IX kepada Adam Malik
Di Madukismo, boleh dikata kehidupan kami tak terlalu ketat dengan norma-norma Keraton.
Banyak tetangga kami yang anggota masyarakat biasa. Demikianlah saya dan anak-anak bergaul dengan lingkungan macam ini.
Selain itu kami sangat jarang bertandang ke Keraton. Paling hanya sekali-dua, itu pun kalau kebetulan Ngerso Dalem (Sultan Hamengku Buwono IX, Red) rawuh (datang. Red) dari Jakarta.
Masalah dengan norma Keraton baru timbul sejak kami pindah rumah dari Madukismo ke dalam Keraton.
Baca Juga : Sri Sultan Hamengku Buwana IX Mendapatkan 'Wisik' dalam Mimpi
Itu terjadi pada awal tahun 1989, sebulan sebelum Sultan Hamengku Buwono IX wafat. Ketika itu yang meminta kami pindah adalah almarhum sendiri.
Rupanya ini semacam petunjuk tersembunyi bahwa Mas Herjuno harus bersiap menggantikannya sebagai sultan bila beliau wafat.
Sejak tinggal di Keraton itulah saya dan anak-anak belajar mengikuti tata-cara yang berlaku. Tapi saya punya prinsip, kami tak boleh terbelenggu pada aturan dan tata krama Keraton.
Sebab kita hidup di alam maju yang modern. Maka, kalau memang tidak beralasan, kami lebih suka menjalankan kehidupan sesuai norma modern. (Sukrisna, Winarno)
Baca Juga : Apakah Sri Sultan Hamengku Buwana X Mendapatkan Wisik (Bisikan)?
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR