Pada saat saya kuliah itu datang lamaran dari Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito. Waktu itu ia adalah seorang pangeran dari Keraton Yogyakarta, putra tertua Sultan Hamengku Buwono IX.
Tapi, wah, saya masih ingin sekolah. Untunglah, di Keraton Yogyakarta tidak bisa sembarang saat melangsungkan pernikahan.
Biasanya harus ada sejumlah pasangan dulu, putera-puteri Sultan, yang kemudian dinikahkan bersama-sama.
Baca Juga : Lewat Ramalan Jayabaya, Sultan Hamengku Buwono IX Sudah Memprediksi Datangnya Kemerdekaan RI
Jumlah pasangan harus genap, dua pasang atau empat pasang, dan seterusnya. Tapi tidak boleh ganjil.
Dan pernikahan itu pun tergantung dari perkenan Ngerso Dalem (sebutan hormat untuk sultan atau raja yang waktu itu adalah Sultan Hamengku Buwono IX, Red) kapan pelaksanaannya.
Yang datang melamarkan adalah Sultan Hamengku Buwono IX sendiri. Kami, saat itu sudah pindah rumah dari Kebayoran ke kawasan Cipete, betul-betul terperanjat.
Ini aneh, di luar tradisi. Biasanya yang datang melamarkan adalah utusan Keraton. Bukan rajanya sendiri yang langsung turun tangan.
Baca Juga : Bukan ‘Kesaktiannya’, Pasukan Tank Belanda Takut pada Sri Sultan Hamengkubuwono IX karena Pendidikannya
Kemudian saya timbang-timbang. Sultan Hamengku Buwono IX datang sendiri dengan alasan praktis saja.
Yakni, karena saya hidup di Jakarta, dan pada saat itu beliau juga menetap di Jakarta sebagai pejabat tinggi negara.
Beliau datang tanpa pengawal, tanpa ribut-ribut yang menarik perhatian tetangga.
Source | : | Tabloid Nova |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR