Penelitian Kaiser Family Foundation (2010) mengenai dampak media terhadap anak menunjukkan efektivitas pembatasan ini.
Anak-anak yang orangtuanya berusaha untuk mengekang penggunaan media, biasanya lebih terhindar dari paparan buruk.
Jika tidak ditempuh upaya-upaya antisipatif, bakal berdampak negatif terhadap perkembangan karakter anak. Nina mengemukakan, setidaknya ada tiga efek negatif kalau anak dibiarkan terus-menerus menyerap informasi dari tayangan di televisi.
Pertama, perkembangan dan pertumbuhan fisiknya kurang terstimulasi. Sebab, koordinasi unsur-unsur sensorik-motoriknya berjalan kurang optimal. Akibatnya, menjelang masuk SD ia akan mengalami kesulitan belajar.
Baca Juga : 9 Alasan Kenapa Menonton TV Tidak Baik untuk Kesehatan (1): Bikin Gemuk dan Mengganggu Reproduksi
Kedua, terganggunya perkembangan kecerdasan anak. Ketika tontonannya penuh dengan adegan-adegan agresif, anak akan menjadikannya sebagai referensi dalam berperilaku.
Namun, hal ini juga tergantung dengan pilihan tontonannya. Jika tayangan yang ditonton anak memiliki jalan cerita dan pesan yang bagus, efeknya justru akan merangsang perkembangan otak anak.
Ketiga, pengaruh terhadap sisi sosial dan emosi anak. Anak akan cenderung lemas dan malas berjuang. Kurang tangguh.Tontonan yang bersifat horor, agresif, dan porno membuat pelepasan emosi anak saat marah cenderung tak terkendali.
Spongebob tak cocok
Baca Juga : Studi: Anak yang Menonton TV Berjam-jam Kemungkinan Mengalami Bully
Anak-anak memang cenderung menirukan apa yang dilihatnya. Padahal dimensi kognitif anak di bawah tujuh tahun belum bisa membedakan antara fakta dan fiksi. Di sinilah bahayanya.
Sebab, apabila tontonannya memuat banyak adegan agresif, anak bisa tumbuh dengan toleransi yang tinggi terhadap kekerasan. Sebaliknya, empatinya terhadap korban kekerasan berkurang.
Biasanya anak gemar menonton film kartun. Meski begitu, tontonan tersebut belum tentu aman bagi perkembangan anak. Contoh, film kartun seperti Spongebob, Naruto, dan Tom and Jerry yang banyak disukai anak. Karakter binatang atau gambaran penokohan yang lucu memang cukup menarik perhatian si kecil. Penayangannya pun di jam tayang anak-anak.
Namun dari sisi konten, jelas tayangan itu untuk orang dewasa karena memuat adegan kekerasan dan jalan cerita yang belum bisa dinalar oleh anak-anak. Karenanya, orang tua harus mengawasi. “Film kartun tak selalu cocok buat anak-anak,” kata Nina.
Baca Juga : Anak yang Sering Menonton TV Lebih Rentan Terkena Bullying
Orangtua juga harus belajar
Alissa Wahid, psikolog anak dan keluarga, mengingatkan agar orangtua segera mawas diri. Orangtua yang baik harus mampu mengendalikan aktivitas keseharian anak. Sejak dini mereka mesti menyiapkan langkah antisipatif untuk si buah hati. Bukan justu bertindak reaktif ketika hal buruk sudah telanjur menimpa anak.
Jika anak mengucapkan kata-kata tidak pantas yang ditirunya dari lingkungan, orangtua wajib memperjelas konteks pemakaian kata tersebut. Niat yang melatari pengucapannya pun diperjelas agar tidak terjadi kekeliruan persepsi.
Selain itu, ada teknik “aksi-konsekuensi”. Artinya, setiap kali anak mengucapkannya, ada konsekuensi yang terkait dengan kejadiannya langsung. Contoh, anak menirukan adegan agresif dari sebuah tayangan sinetron. Maka, konsekuensinya, dia tidak boleh menonton lagi tayangan bersangkutan dalam jangka waktu tertentu.
Cara lainnya bisa ditempuh dengan mengurangi privilege yang didapat anak. Misal, tidak dibelikan mainan. Tentu saja langkah-langkah seperti ini harus mempunyai alasan dan konsekuensi yang jelas.
Misalnya: mainan rusak atau hilang karena keteledorannya. “Jadi harus ada semacam rules-nya,” terang putri sulung mendiang Gus Dur ini.
Kuncinya, orangtua juga harus belajar dan mau berjuang untuk menjadi orangtua yang baik bagi anak-anaknya.
Baca Juga : Tak Hanya Ponsel, Xiaomi Juga Usung TV Cerdas, Harganya Murah Meriah Fiturnya Lengkap!
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR