Mitos-mitos Soal Flu

Agus Surono

Editor

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh sebuah perusahaan farmasi di AS terhadap kurang lebih 1.500 pelanggannya mengungkapkan bahwa 42% dari mereka berencana tidak melakukan vaksin flu. Beberapa mitos juga berkembang dari jajak pendapat itu.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh sebuah perusahaan farmasi di AS terhadap kurang lebih 1.500 pelanggannya mengungkapkan bahwa 42% dari mereka berencana tidak melakukan vaksin flu. Beberapa mitos juga berkembang dari jajak pendapat itu.

Intisari-Online.com - Amanda Kanowitz berumur 4,5 tahun ketika terserang flu. Anaknya lincah dan sehat saat itu. Gejala awalnya sama seperti gejala flu pada umumnya, batuk, demam, dan muntah. Dokter memberi obat sirup dan menyuruhnya istirahat. Namun, tiga hari kemudian orangtuanya mendapati Amanda meninggal di tempat tidurnya.

Ya, flu ternyata bisa membunuh anak-anak yang sehat. Agar kasus Amanda tak terulang, orangtuanya lalu mengampanyekan pentingnya vaksin flu. "Inilah satu-satunya cara mencegah flu," kataRichard Kanowitz, yang mendirikan Families Fighting Flu. Dalam kasus Amanda, dokter tidak menyarankan ia divaksin pada umur segitu. Atas upaya Kanowitz, sekarang Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyarankan vaksinasi flu padabayi berumur minimal 6 bulan.

Meski begitu, masih saja ada keengganan untuk melakukan vaksinasi atas dasar beberapa pertimbangan. Mitos yang berkembang juga menyuburkan sikap anti-vaksin. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh sebuah perusahaan farmasi di AS terhadap kurang lebih 1.500 pelanggannya mengungkapkan bahwa 42% dari mereka berencana tidak melakukan vaksin flu. Beberapa mitos juga berkembang dari jajak pendapat itu antara lain:Mitos 1: Flu hanyalah selesma biasa.

Menurut data CDC, setiap tahun flu membunuh lebih dari 49.000 orang dan membuat 200.000 orang dirawat di rumah sakit. Tahun 2010, 114 anak-anak meninggal. Gejala flu cenderung muncul secara tiba-tiba, tidak seperti selesma. Orang yang terserang flu burung sering terbaring selama seminggu dengan disertai demam, sakit sekujur badan, kelelahan, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan hidung meler.Mitos 2: Vaksin flu bisa menyebabkan flu.

Sekitar 35% konsumen berpikir bahwa vaksin flu dapat menyebabkan flu. CDC membantahnya sebab virus yang ada divaksin sudah dilumpuhkan. Ada beberapa efek sampingan memang, seperti lengan yang terasa sakit. Pada anak-anak efeknya lebih beragam, seperti hidung meler, sakit kepala, dan napas terganggu.

Mitos 3: "Kombinasi" vaksin lebih berisiko dibandingkan vaksin tunggal.

Tahun 2011, vaksin flu dikombinasikan untuk melindungi baik flu biasa dan flu burung. Setiap tahun, pembuat vaksin akan memasukkan strain yang hampir dipastikan menyebabkan penyakit. Misalnya saja vaksin dengan dua strain A - H1N1 dan H3N2 - dan strain B.

Mitos 4: Hanya orang yang sakit yang butuh vaksin flu.

Separo konsumen berpikir vaksin hanya untuk anak atau orang yang terkena flu. Sebenarnya, satu-satunya cara untuk mencegah flu adalah memberikan vaksinasi. Karena bayi baru bisa divaksin setelah usia 6 bulan, mereka mengandalkan vaksinasi dari lingkungan sekitarnya untuk menciptakan "kepompong" vaksinasi.

Mitos 5: Vaksin flu mengandung bahan kimia beracun seperti merkuri.

Sekitar 14% konsumen berpendapat bahwa vaksin flu berbahaya. Berkenaan dengan merkuri, memang dipakai di dalam vaksin model lama dan sudah tidak dipakai lagi sejak tahun 2001. Sekarang tidak ada lagi kandungan merkuri di dalam vaksin flu. Selain itu, tak ada bukti bahwa merkuri dalam dosis kecil yang digunakan di vaksin menimbulkan bahaya. Merkuri yang digunakan adalah jenis ethyl dan bukan methyl yang bisa merusak otak. Tak ada data yang menunjukkan bahwa kandungan merkuri dalam vaksin flu membuat anak menderita autisme. (USA Today)