Banyak orangtua yang membesarkan dan mendidik anak secara alami-naluriah, mengadaptasi cara mendidik warisan kakek dan neneknya plus hasil pungut sana-sini. Padahal, cara begini sering kurang efektif, bahkan riskan.
Sebagian orangtua yakin masa remaja merupakan masa penuh pergolakan. Perilaku demikian, konon, bisa dibilang normal, karena tidak dapat dielakkan. Jadi wajar kalau remaja berlaku begitu. Habis, mereka memang lagi ngebet menegakkan kebebasan diri sehingga cenderung ingin memberontak terhadap orangtua.
Anak remaja sesungguhnya tidak pernah memberontak terhadap orangtua mereka. Yang sebenarnya terjadi mereka hanya memrotes cara orangtua mendidik anak, yang kebanyakan baik menurut ortu, tapi belum tentu baik menurut anak. Dalam menghadapi anak, orangtua cenderung menggunakan cara yang hanya memenangkan dirinya sendiri, bukan anak-anak mereka.
Umumnya para ortu cenderung merebut peran sebagai penguasa, pengendali, dan pemaksa keputusan dari setiap masalah. Tak peduli itu masalah anak sekalipun. Dalam hampir setiap kesempatan anak cuma didudukkan sebagai boneka, tanpa hak untuk membela pendapatnya.
Orangtua, paling tidak, berusaha agar tidak menyerempet selusinan pantangan berikut ini.
Pertama, hindari memerintah (menekan anak untuk melakukan sesuatu). Tabukan menyampaikan kalimat perintah seperti, "Bantu Ibu sekarang juga". Jauhi juga semua ucapan potong kompas yang diembel-embeli kata "jangan". Jadi, yang namanya larangan jangan begini, jangan begitu, jangan beginu, mesti ditanggalkan dari kamus percakapan antara orangtua dengan anak.
Kedua, hindari mengancam (mengatakan akibat-akibat yang akan terjadi kalau anak melakukan sesuatu). Misalnya, "Kalau kamu pacaran melulu, Bapak stop uang mingguanmu" atau "Sekali lagi ngomong jorok, Ibu tampar kamu!"
Ketiga, hindari memberi khotbah (menjelaskan apa yang boleh atau seharusnya dilakukan). Lebih baik segera hapuskan dari kebiasaan semua perkataan "Kamu enggak boleh ...." atau "Kamu harus ...."
Keempat, hindari menasihati (memberi saran atau penjelasan cara menyelesaikan suatu masalah). Seperti "Lebih baik kamu mengalah" atau "Lewat sini saja supaya enggak jatuh".
Kelima, hindari memberi kuliah (mempengaruhi anak dengan membeberkan fakta, alasan, logika, atau pendapat pribadi). Kira-kira seperti ini: "Waktu seumur kamu, Bapak sudah bisa cari duit sendiri" atau "Kawan-kawanmu sudah bekerja. Mestinya kamu pun sudah".
Keenam, hindari menilai negatif, baik itu mengkritik, mencela, melecehkan, mengejek, ataupun menyalahkan. Misalnya "Begitu saja enggak bisa" atau "Maklum, namanya juga cewek".
Ketujuh, hindari menjuluki. Sebaiknya tidak lagi mengatakan kepada anak, seperti, "Bodoh kamu" atau "Dasar kamu anak manja".
Kedelapan, hindari menganalisis (mengatakan mengapa anak sampai melakukan atau mengatakan sesuatu). Misalnya, suatu kali anak laki-laki kita mengadu setengah putus asa, "Payah deh, Pak, grup voli kami kalah telak!" Sungguh tidak bijaksana kalau orangtua lantas menanggapinya "Habis, kalian kurang serius berlatih tanding sih".
Kesembilan, hindari memuji. Contohnya "Kamu 'kan cantik" atau "Bagus, pilihanmu sudah betul".
Kesepuluh, hindari meyakinkan (mengatakan untuk memberi dorongan, menyenangkan hati, atau menghapus perasaan tak menyenangkan dalam diri anak). Para ortu lebih baik tidak berkata, misalnya "Dengan potensimu, kamu pasti bisa mengalahkannya" atau "Itu 'kan hanya perasaanmu".
Kesebelas, hindari menyelidik atau mengusut (mendesak dengan perkataaan atau pertanyaan). Orangtua yang dapat berkomunikasi secara efektif tak hendak mengatakan kepada anaknya, misalnya, "Siapa yang ngomong begitu sama kamu?" atau "Terus-terus-terus, lanjutkan dong ceritanya!"
Kedua belas, hindari mengalihkan perhatian. Ada baiknya kalau ortu menahan diri agar tak sampai berucap, seperti, "Lupakan saja" atau "Kita ngomong yang lain sajalah".
Lantas, orangtua kebagian ngomong apa dong kalau larangannya saja sebuaaaanyak itu?
Sebenarnya bicara apa pun bisa, asal tidak sampai menabrak rambu-rambu selusin hambatan komunikasi di atas. Dalam keterampilan berkomunikasi, cara menanggapi yang aman ini disebut mendengar aktif.
Kuncinya, ortu mesti bersikap netral, baik ucapannya, pemikiran, maupun tindakannya. Tidak lantas potong kompas, main larang "Jangan...." Atau "Enggak boleh ...." Atau, melarang anak lewat bahasa tubuh. Yang terbaik, orangtua selayaknya tidak mencampuri pemikiran, perasaan, gagasan, dan masalah anak. Namun demikian, orangtua tetap dituntut untuk berempati terhadap anak, yakni mengerti perasaannya dan menempatkan diri dalam posisi mereka. Dengan sikap semacam ini anak akan merasa orangtuanya tidak meninggalkannya.
Semoga tidak lantas putus asa menjadi orangtua dengan larangan seabrek tadi.
(Sumber: Intisari)