“Permainanmu sungguh mengagumkan. Kalau gasingmu terbuat dari emas engkau benar-benar menjadi raja yang pandai menjalankan ilmu pemerintahan.”
Roh Patih Udara yang selalu berkelana mengikuti anaknya segera turun dan merobah gasing kayu itu menjadi emas dan di atas kepalanya bertahta intanpermata yang berkilau.
Ratu semakin kagum. Lalu dia berseru kepada semua orang yang hadir disitu, “Sejak hari ini aku menamakan diriku Kencana Wungu dan Damar Wulan kuangkat menjadi suamiku.”
Sejak itu Damar Wulan menjadi raja apa yang diramalkan oleh Patih Udara terkabul.
Perkembangan gasing
Kalau diteliti, mungkin juga bahwa gasing ini dulunya bukan untuk mainan anak-anak di bawah 14 tahun tetapi adalah untuk pemujaan arwah nenek moyang.
Tentunya bisa diukur kurun waktu permainan itu, mungkin sekali pada zaman Hindu, bahkan mungkin juga jauh sebelumnya memang sudah ada. Hanya sifatnya sangat terbatas.
Dengan adanya foklore, cerita dari mulut ke mulut, apalagi yang menyangkut juga nama Damar Wulan dan Kencana Wungu, maka kita bisa menduga secara kasar, bahwa permainan itu sudah demikian berkembang dan dikenal umum pada zaman Majapahit.
(Baca juga: (Foto) Inilah 12 Standar Kecantikan Wanita di Beberapa Negara yang di Kreasikan Lewat Photoshop, Termasuk Indonesia!)
Memang kita tidak bisa menerima begitu saja foklore itu sebagai sejarah, tetapi paling tidak bisa diambil sebagai bahan ancer-ancer sejarah. Mungkin juga karena kekuasaan Majapahit yang luas sampai abad ke 15 (limabelas) maka gasing ini dikenal juga di seluruh Nusantara.
Tetapi kalau dikaji lagi akan didapatkan bahwa masing-masing daerah di republik ini memiliki foklore-foklore tersendiri yang berhubungan dengan gasing-gasing itu, menurut versinya yang anekaragam.
Pada waktu saya masih kanak-kanak, permainan kekeyan sudah demikian berkembangnya. Yang ikut mengadu bahkan sampai sepuluh orang. Mereka sudah tidak lagi terikat dengan putaran lama.
Yang penting adalah tajamnya paku, yang dibuat dari baja dan seperti kapak. Begitu dibanggalkan ke arah lawan, kekeyan lawan seketika terbelah macam dikapak.
Jadi bagi penonton sangat riskan kalau duduk-duduk di dekat lingkaran. Salah-salah bisa kaki kita yang luka. Karena itu bagi mereka yang tidak suka aduan tidak perlu pakai paku tajam-tajam, atau orangtua sendiri yang melarang tidak usah pakai paku sama sekali.
Permainan yang mirip gasing adalah yang dibuat dari biji buah karet. Isinya sudah dikeluarkan dan dilobangi. Lalu kita masukkan kitiran dan dengan benang yang ditarik-tarik kita saksikan permainan itu berputar seperti baling-baling kapal terbang.
(Baca juga: Dengan Menjadi Penari Balet, Gadis Ini Bertarung Melawan Tumor ‘Tentakel’ yang Menghancurkan Organ Tubuhnya)
Permainan gasing atau kekeyan ini memang aneh. Munculnya secara tiba-tiba. Anak-anak bermain. Habis itu lenyap tak berbekas.
Dulu memang sering dimainkan waktu panen. Kalau di Jawa Tengah waktu garebeg Maulud.
(Ditulis oleh Rachmat Ali. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1973)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR