Candi-candi lain yang terdapat di DAS Sungai Barumun yaitu Candi Aek Tunjang, Tandihat I, Tandihat II, Longung, dan Candi Sisangkilon. Dua candi yang disebut terakhir berada di Kecamatan Barumun.
Dari sederetan candi itu, Candi Longung memiliki keistimewaan tersendiri, karena dibangun dari batuan tuff, bukan dari bata seperti umumnya candi di kompleks Padanglawas.
Namun, artefak-artefak yang menarik banyak ditemukan di Candi Tandihat I. Meski tidak lagi dijumpai area, masih tersisa lapik-lapik arca dengan pahatan yang indah serta yoni. Namun, sayang tidak dilengkapi pasangannya, Iingga.
Temuan-temuan itu sarat dengan ciri Siwaistis, khususnya yang ditunjukkan oleh artefak yoni. Dalam konsep Hindu, Iingga dan yoni merupakan simbol kesuburan atau asal-muasal kehidupan.
Kondisi candi lainnya cukup menyedihkan, karena hanya menyisakan reruntuhan. Jika tidak segera diselamatkan, akan musnah tertelan kala. Candi Aek Tunjang, misalnya, sudah mengalami kerusakan parah dan sulit untuk direkonstruksi mengingat di atasnya telah berdiri rumah-rumah penduduk.
(Baca juga: Suku Boti, Suku yang Suka ‘Memanggang’ Ibu yang Baru Selesai Bersalin)
Cuka yang tuak
Sebelum melangkah mengunjungi candi-candi Padanglawas, sebetulnya kita bisa bergoyang lidah dulu. Hidangan istimewa dari sub-sukubangsa Angkola dan Mandailing di daerah itu berupa olahan ikan mas bakar dengan racikan bumbu kelapa parut dan balakka, tanaman lokal yang banyak dijumpai di Padanglawas.
Lebih istimewa lagi, menu ikan mas itu dilengkapi pucuk rotan yang telah dibakar dan dikuliti. Warnanya putih. Rasanya, coba sendiri deh. Yang jelas agak pahit, meski ada yang bilang pahit sekali.
Dibubuhi perasan jeruk nipis dan kecap asin, pucuk rotan muda itu terasa nikmat. Nah, kalau sempat mampir juga di kedai pinggir jalan sebelum melihat-lihat candi, pesanlah holat. Menu ini sudah tersaji di meja kedai.
Masyarakat setempat punya kebiasaan unik, minum cuka! Bukan cuka teman acar, tapi ini istilah lokal untuk menyebut tuak. Kebiasaan penduduk daerah ini minum tuak sudah dilakukan turun-temurun sejak dulu kala.
Pokoknya, setiap acara adat terasa kurang lengkap tanpa tuak, terutama jika sedang dilaksanakan pesta-pesta besar.
(Baca juga: Kocak! Palang Kereta Api Unik di Madiun: Palangnya Di Mana, Keretanya Lewat Mana)
Tradisi masyarakat setempat juga menempatkan kerbau sebagai binatang yang berpengaruh. Dalam adat setempat, kerbau merupakan simbol status sosial.
Kehormatan besar akan diperoleh dari masyarakat, jika seseorang sanggup menyembelih seekor kerbau pada acara adat tertentu.
Dalam perkawinan, si mempelai berhak atas gelar tertentu yang dipersembahkan oleh adat, jika dalam pesta itu disembelih empat jenis binatang sekaligus: ayam, kambing, sapi, dan kerbau.
Apa gelar yang diperoleh? Sebetulnya bukan gelar, tapi hak untuk melaksanakan pesta margondang. Sebuah pesta yang dilengkapi dengan acara bergendang, berwujud lantunan-Iantunan nasihat yang dilagukan untuk mempelai, juga manortor (menari tortor).
Saking pentingnya peranan kerbau dalam adat, tak heran kalau harganya jauh lebih tinggi dari harga seekor sapi.
(Ditulis oleh Dyah Hidayati. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari Mei 2004)
(Baca juga: Romusha dan Jugun Ianfu, Cara Keji Jepang dapatkan Tenaga Kerja dan Budak Seks Gratis)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR