Untuk menuju Desa Samaenre Semaja dibutuhkan waktu lebih dari 3 jam dari ibu kota Kabupaten Nunukan. Dari Pelabuhan Pos Lintas Batas Laut Liem Hie Djung, warga harus menggunakan moda transportasi speedboat menuju Dermaga Sei Ular yang akan melewati 2 pos penjagaan wilayah perbatasan.
Pos pertama merupakan pos milik aparat Pemerintah Malaysia di Tanjung Kayu Mati. Pos kedua yang akan dilewati adalah pos Satuan Tugas Pengamanan Wilayah Perbatasan Satgsa Pamtas RI – Malaysia Sei Kaca.
Dari PLBL Liem Hie Djung dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit menuju Sei Ular. Dari Dermaga Sei Ular, perjalanan akan dilanjutkan dengan menggunakan mobil carteran karena tidak ada angkot regular menuju Desa Samaenre Semaja.
(Baca juga: Indonesia-Malaysia Kembali Bertemu di Perbatasan, Apa yang Mereka Perbincangkan?)
Jika tidak mencarter, warga biasanya berjalan kaki dari jalan aspal terakhir menuju perkampungan mereka yang berjarak kurang lebih 5 kilometer. Bila beruntung, warga bisa menumpang truk pengangkut kelapa sawit yang lewat sehingga tidak perlu bersusah payah melintasi jalan tanah yang dipastikan berlumpur jika hujan mengguyur.
Untuk menyewa kendaraan juga harus dipastikan kendaraan tersebut berjenis offroad agar bisa sampai di perkampungan yang memiliki 282 kepala keluarga tersebut. Dari Sei Ular dibutuhkan waktu 1 hingga 2 jam sebelum melihat masjid sebagai tanda masuk perkampungan Desa Samaenre Semaja jika cuaca tidak hujan.
Jika hujan bisa dipastikan membutuhkan waktu lebih karena mobil dipastikan akan sering tergelincir di sepanjang jalan karena jalan tanah yang berlumpur.
Buruknya infrastruktur jalan membuat puluhan anak-anak di desa terebut kesulitan bersekolah. Mereka memilih membantu orangtua mereka di rumah.
SD Filial 004 Seimnggaris merupakan satu-satunya harapan para orangtua menyekolahkan anaka-anak mereka.
Dengan keterbatasan ruang sekolah, bangku, dan guru, namun siswanya kreatif dan mandiri untuk belajar. Nabila, salah satu siswa kelas 6, misalnya, dia mampu memelajari bahasa Inggris dengan baik meski tidak diajarkan di sekolah.
(Baca juga: Malangnya Nasib Sitiyah, Sudah Disiksa Majikannya di Malaysia eh Ditelantarkan Pula oleh PJTKI-nya)
Dengan berbekal listrik dari diesel milik tetua desa yang disalurkan kepada warga, Nabila mengaku mengunduh materi pelajaran yang tidak bisa diberikan di sekolah. Listrik di desa itu hanya menyala dari pukul 6 sore sampai pukul 10 malam,
Siswi yang bercita-cita menjadi polisi wanita tersebut beberapa bulan ke depan harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir sekolah. “Saya juga bingung kalau ibu guru mau cuti melahirkan, bagaimana dengan persipaan kami yang mau ujian?” ujarnya.
Bunyi besi tua yang dipukul dengan batu seadanya menandai berakhirnya kegiatan belajar di SD Filial 004 Seimenggaris hari itu. Meski tak banyak perabot sekolah yang dimilik, Susi Susanti berusaha merapikan kembali buku-buku pelajaran sekolah ke rak kayu yang mulai usang.
Ada satu kegamangan yang dipikirkan ibu satu anak ini terhadap nasib siswanya. Bagaimana siswanya yang kelas 6 menghadapi ujian jika bulan depan dia harus cuti untuk melahirkan?
Ujian akhir sekolah rencananya akan dilaksanakan antara bulan April atau Bulan Mei 2018. “Masalah ini sudah kami upayakan disampaikan kekepala sekolah tempat kami menginduk, tapi beliau sakit. Saya juga tidak tahu bagaimana nasib mereka nanti kalau saya cuti melahirkan,” ujarnya.
Meski dihadapkan dengan berbagi kekurangan, Susi Susanti mengaku akan tetap mengajar siswa-siswi tunas bangsa yang berada di wilayah perbatasan tersebut usai cuti melahirkan. Dia mengaku, akan secepatnya mengajar bila anak keduanya nanti telah lahir dan bisa dibawa serta menuju sekolah.
(Baca juga: Guru Ini Berhenti dari Pekerjaanya Karena Muridnya Sering Konsumsi Minuman Berenergi. Ternyata Ini Alasannya)
(Artikel ini sudah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Susi, Honor Rp 200.000 Mengajar 6 Kelas Anak-anak Perbatasan Seorang Diri")
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR