Untuk beberapa lama, mereka serta pasukan PG 500 sementara masih bertahan di Waigeo sehingga kehabisan bekal makanan.
Demi bertahan hidup mereka memanfaatkan bahan makanan sekitar, seperti pohon sagu dan berburu ikan.
Keberadaan Herlina dan para rekannya di Waigeo berlangsung hingga tercapai persetujuan damai antara Indonesia dan Belanda mengenai Irian Barat di PBB, New York pada 15 Agustus 1962.
Tidak lama setelah itu menyusul pengumuman untuk penghentian permusuhan dan tembak menembak antara pasukan Indonesia dan Belanda.
Dalam kondisi gencatan senjata itu, semua gerilyawan yang berada di hutan-hutan Irian Barat secara berangsur-angsur ditarik ke perkotaan untuk konsolidasi.
Pasukan Gerilya 500 dan rombongan Herlina yang masih bertahan di Waigeo pun ditarik dan ditempatkan di Lam-Lam, Irian Barat.
Pada 25 Agustus 1962, Pulau Waigeo mulai dikosongkan dan rombongan Herlina bersama personel PG 500 pun dipindahkan ke Lam-Lam menggunakan perahu bermesin.
Kondisi kampung Lam-Lam yang akan menjadi markas ternyata kosong, hanya terdapat 15 rumah yang sangat sederhana.
Penduduk Lam-Lam sengaja meninggalkan kampungnya karena adanya hasutan, jika pasukan Indonesia masuk maka seluruh penduduk kampung akan dibantai.
Tetapi setelah penduduk kampung Lam-Lam dipulangkan dan diberi pengertian, mereka dan penduduk akhirnya bisa bekerjasama.
Mereka mulai mengadakan komunikasi dengan pasukan Belanda dan membahas masalah Irian Barat ke depannya.
Pasukan Belanda yang sering menemui Herlina dipimpin oleh Kapten Kumontoy.
Herlina dan Kapten Kumontoy yang lancar berbahasa Inggris dan Belanda dengan mudah berkomunikasi.
Kemudian diketahui bahwa untuk mengurus kepentingan para gerilyawan Indonesia akan ditangani PBB.
Dalam kondisi masih siaga dan waspada, Herlina dan para rekannya kemudian melakukan kegiatan untuk menumbuhkan semangat nasionalisme.
Salah satunya dengan mengajarkan menyanyi lagu Indonesia Raya bagi penduduk setempat.
Setelah beberapa lama beraktifitas di Lam-Lam, Herlina bersama rombongan dijemput pasukan PBB (UNTEA) yang didampingi oleh Lettu Wim Saleki, orang Ambon yang juga fasih berbahasa Belanda. Tapi pasukan UNTEA yang kebanyakan orang Pakistan hanya mahir berbahasa Inggris.
Kehadiran Herlina yang juga lancar berbahasa Inggris menjadi jembatan penghubung bagi mereka.
Kapten Kumontoy pun menyetujui, rombongan Herlina berangkat terlebih dahulu bersama pasukan PBB menuju Sorong dengan menggunakan kapal pendarat tank (LST).
Di Sorong Herlina ternyata bisa berperan makin luas terutama dengan para pejabat PBB sehingga mempercepat proses pengembalian Irian Jaya ke pangkuan NKRI.
(Baca juga: Miris, di Balik Harga Produknya yang 'Wah', 4 Merek 'Branded' Ini Bayar Buruhnya Sangat Kecil)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR