Suara lebih lembut datang dari Mona Lohanda yang mencoba melihat dari sisi lain. Wanita yang bertahun-tahun menekuni arsip VOC ini berpendapat, ada latar belakang mengapa Belanda nekat merayakan empat abad VOC, yang berisiko membangunkan kemarahan banyak orang di Indonesia.
Dulu sebagai negara kecil, Belanda kurang pede mengawasi jajahan yang begitu jauh dan besar. "Kini, di Uni Eropa mereka tetap dianggap sebagai negara kecil. Generasi mudanya butuh simbol untuk menumbuhkan kebanggaan sebagai bangsa," imbuh mahasiswi S-3 pada Universitas Katolik Nijmegen, Belanda, itu.
Tapi, mengapa upaya itu berpijak dari penafsiran sejarah yang berseberangan? Karena sampai kiamat pun, Indonesia dan negara-negara mantan jajahan Belanda lainnya meyakini VOC bukan sekadar kumpulan saudagar.
Dalam diskusi di KBRI Den Haag, sejarawan Dr. Anhar Gonggong menegaskan, VOC simbol dari kehendak Belanda untuk mendapatkan keuntungan ekonomi-perdagangan, sekaligus perluasan wilayah kolonial.
Maka, lanjut Anhar, usaha VOC di Indonesia merupakan tindakan awal dari kekuatan imperialis-kolonialistik. Bisa juga disebut sebagai proses awal penancapan kekuasaan kolonial yang didorong motif ekonomi merkantil.
Motif ini bisa berhasil jika didukung pemerintah Belanda dengan segala bantuan militernya.
Suara tadi - mewakili sebagian besar pendapat di Indonesia - berbeda 180 derajat dengan opini yang hendak dibentuk lewat perayaan 400 tahun VOC.
Kabarnya, hingga kini masih cukup banyak pihak di Belanda yang beranggapan, kolonialisme di Indonesia menyimpan niat suci, seperti men-civilized-kan orang Indonesia yang primitif, memberi kemakmuran, mempersatukan banyak daerah yang kerap berkelahi, serta memberi pendidikan.
Ada pun untuk kasus VOC, mereka cuma percaya satu kata: dagang dan dagang!
Faktanya? Mengutip arsiparis Mona Lohanda, VOC jelas tak sekadar buka kios seperti Babah Akiong. Mereka sekaligus menjadi mesin politik. Kalau pun saat itu peran pemerintah Belanda tampak minim, lebih karena,
"Sebagai negara kecil mereka harus pandai membagi konsentrasi. Saat itu di Eropa, Belanda sedang berperang melawan Spanyol dan Portugis," jelas dosen Fakultas Sastra UI ini. Wah, masuk akal juga!
(Baca juga: Bukan Daging, Inilah Menu Makan Siang Paling Enak dalam Pendidikan Komando Marinir yang Sangat Keras Itu)
(Ditulis oleh Muhammad Sulhi. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 2002)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR