"Tsumi o nikunde, hito o nikumazu,” kata orang Jepang. "Kutuklah perbuatannya, jangan orangnya". Bangsa Jepang memang menganut moral tersendiri.
Kesalahan bukan terhapus oleh penyesalan melainkan dengan dilupakan. Menurut kepercayaan agama Shinto, kehidupan berakhir dalam sebuah lubang hitam.
Setelah itu tidak perlu lagi memikirkan kesalahan-kesalahan untuk dipertanggungjawabkan pada Pengadilan Akhir Dunia.
Siapapun dia, apakah direktur sebuah perusahaan besar ataupun pemimpin gangster, apapun yang dilakukannya, mereka lakukan itu untuk perusahaan yang dipimpinnnya, entah itu perusahaan mobil ataupun kekerasan.
Bapak Yakuza pertama adalah Banzuin Choberi. Empat ratus tahun yang lampau, bersama dengan anak buahnya dia melindungi para orang kaya di desa nelayan Edo (Tokyo sekarang) dari perampok dan pembunuh.
Untuk itu dia menerima imbalan uang yang besar dan dianggap semacam Robin Hood. Bahkan di abad ke-18, pemerintah Jepang mengangkatnya sebagai semacam pembantu polisi.
Setiap kelompok memperoleh sebuah "shima", "pulau" dalam kota. Di daerah itu Yakuza praktis pemegang monopoli kekuasaan.
Dengan demikian kejahatan kecil-kecilan hilang, karena kaum Yakuza tidak mau merusak hubungan mereka dengan polisi.
Penduduk pun merasa aman dan kehidupan gangster digambarkan sangat romantis. Ini berlangsung hingga sekarang.
Di mana-mana pos polisi
Hirarki keras dalam keluarga besar Yakuza ini menarik bagi orang-orang yang sudah dikucilkan dari masyarakat.
Di sini mereka menemukan nilai dasar kehidupan masyarakat Jepang: Perlindungan, disiplin, setia tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri, kalau perlu sampai mati.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR