Advertorial
Intisari-Online.com – Stand up comedy sedang digandrungi, berawal dari televisi, kini berlanjut ke pertunjukan- pertunjukan di kafe dan klab malam.
Padahal kehadiran stand up comedy bukanlah baru, karena Ramon P. Tommybens, seorang entertainer di Jakarta, sudah merintis “lawak sendirian” ini sejak 1997 di kafe miliknya.
Ia bertutur kepada T. Tjahjo Widyasmoro dan Jeffrey Satria soal situasi ini.
--
(Baca juga: Kisah Pilu Marina Chapman: Dibuang ke Hutan, Dirawat Kera, Lalu Dijadikan Budak Seks)
Salah kaprah apa yang Anda temui dalam stand up comedy di Indonesia?
Stand up dianggap sebagai lawak sendirian, jadinya diistilahkan komedi tunggal. Saya tidak setuju kalau merujuk kepada kata tunggalnya.
Sebab ini sebenarnya lebih kepada soal keberaniannya. Jadi dia gagah, karena berani melawak sendirian.
Apa sih syaratnya agar bisa menjadi comic?
Banyak. Tapi coba perhatikan: don’t try to be funny, don’t tell jokes, don’t tell story, be serious, be relax.
Nah, langkah-langkahnya: study the pros, gather your material for your act, turn your material into a stand up routine, find a place to perform, earn money for being funny.
Itu semua saya ambil dari buku-buku karangan Greg Din atau Judy Carter.
Don’t try to be funny? Aneh. Maksudnya?
(Baca juga:‘Yerusalem Milik Kami, Sebagai Orang Kristen, Yahudi dan Muslim. Orang Luar Tak Boleh Ikut Campur’)
Misalnya pakai kumis kayak Hitler atau rambut seperti Gogon Srimulat.
Juga tidak berusaha melawak dengan tingkah laku, misalnya mau naik panggung terus kepeleset, dan semacamnya. Jangan yang konyol.
Termasuk jangan menceritakan lelucon?
Ya, maksudnya jangan menceritakan jokes-jokes kodian, lawakan pasaran.
Jangan menceritakan cerita yang mengada-ada, mengarang-ngarang. Be serious!
Cobalah serius untuk tidak serius. Sebab ini proyek humor tapi prosesnya horor, ha-ha-ha.
Kalau tidak boleh menceritakan lelucon, bahannya dari mana dong?
Caroll Burnett, seorang komedian Amerika bilang kalau dalam kehidupan kita ini sebenarnya ada berton-ton bahan.
Karena dalam hidup kita ini cuma ada dua: tragedy dan comedy.
Tragedy plus time is comedy. Semakin susah hidup kita dulu, kalau kita ceritakan saat ini, maka bukannya orang akan bersimpati, tapi malah ketawa.
Itu sebabnya Anda “cerewet” kepada para comic untuk menjaga diri?
Iya. Memancing tawa untuk hal-hal yang tabu itu memang lebih gampang.
Karena dunia ini masih baru, sebaiknya dijaga baik-baik.
Masyarakat kita itu masih sensitif, jadi rawan betul terhadap protes.
Karena itu saya tekankan agar jangan porno, jangan menyerang orang lain dan jangan rasis.
Jadi tetap harus peduli terhadap kondisi masyarakat ya?
Karena kondisi lingkungan kita, jelas kita harus peduli pada “rambu-rambu”, mana yang boleh mana yang tidak. Saya sengaja pinjam rambu-rambu dari seni lain.
Soalnya belum-belum saja sudah ada yang salah, katanya: “Asyik nih, di stand up kita bisa menghina presiden.” Itu kan enggak bener.
Nantinya stand up akan berkembang seperti apa?
Saya bilang ini akan naik terus. Yang kita lihat sekarang ini masih elementer banget. Masih sederhana. Di Amerika saja, stand up juga terus berubah.
Tahun 70-an, kalau ada anak kecil tanya ke Jerry Seinfield bagaimana caranya menjadi comic, dia akan sarankan untuk mengumpulkan jokes, dihapalkan, lalu diceritakan ulang.
Kalau sekarang, Jerry akan menyarankan untuk don’t try to be funny, don’t tell jokes, dan seterusnya. Jadi ini akan berubah terus.
Anda merasa stand up comedy di Indonesia ini “ujungnya” seperti apa?
Stand up ini akan terus berkembang di Indonesia dan membentuk dirinya sendiri.
Dan ingat, ini sebenarnya kesempatan bagi pelawak-pelawak senior untuk lahir kembali dengan belajar stand up. Pasti mereka bisa.
Sebab dari dulu saya selalu bilang, pelawak Indonesia adalah pelawak paling pintar di dunia.
Dengan banyaknya larangan untuk tidak mengritik ini-itu, mereka tetap bisa lucu.
Di Rusia saja pelawak bisa bercandain gereja atau agama. Di sini mana berani.
Tapi tetap lucu. Hebat kan?
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2012)
(Baca juga:Wanita Ini Pecandu Berat Film Porno Hingga Akhirnya Saat di Bali Menemukan Pencerahan)