Begitu pemangku yang memimpin upacara memberi isyarat dimulainya arak-arakan, sekitar 40 orang yang bertindak sebagai pramu subak segera mengusung bukaka celeng melewati rute yang telah ditetapkan dan diikuti oleh warga lainnya.
Para pemikul yang sebagian besar kawula muda tersebut menjalankan tugasnya dalam keadaan tidak sadar. Usungan bukaka tersebut dibawa berlari dari pura Gunung Sekar menuju jalan raya untuk selanjutnya meneruskan pelancongan menuruti kemauan sang bukaka.
Sepertinya tak masuk akal, mereka mampu mengusung bukaka seberat 1 ton tersebut sambil berlarian. Padahal, dari pura ke arah jalan raya menurun cukup curam.
"Dari sana mereka terus lari. Coba kalau kita lari sendiri, pasti nggak mampu. Dari atas ke bawah, terus ke atas lagi sambil mengusung bukaka dengan kecepatan tinggi," tutur Bandesa. Padahal dari pura ini menuju ke jalan raya harus melewati turunan dengan kemiringan sekitar 30°.
"Makanya jangan coba-coba ikut memikul kalau belum diperciki tirta. Pasti akan cedera," jelas Pasek. Pada upacara beberapa tahun lalu, kabarnya pemah ada anggota pengusung yang jatuh dan terluka. Darah mengalir deras dari lukanya.
Tapi ia seperti tak merasakan apa-apa dan tetap mampu meneruskan tugasnya. Dalam keadaan sadar, jelas kecelakaan itu bakal menimbulkan rasa nyeri berat. Tapi hal itu tak bakal dirasakan siapa pun yang mengusung si celeng panggang.
Tahun 1990, I Made Pasek bersama tiga orang tamu, seorang dokter Indonesia dan dua orang dokter dari Jerman, mengaku juga melihat ada seorang pengusung yang mendadak pingsan. Salah seorang pemangku menyatakan, ia pasti tidak minta tirta.
Oleh dokter, pengusung yang tak sadarkan diri itu diperiksa, temyata masih dalam keadaan normal. Belum sempat dokter mengambil tindakan, si pemangku mengambilkan tirta dan memerciki pemuda itu dengan tirta.
Seketika itu pula cowok 20-an tahun itu sadarkan diri. Begitu ditanya, ternyata ia mengaku belum menerima percikan tirta sebelum mengusung bukaka.
MesM ada "korban", pelancongan si bukaka babi mesti diteruskan. Rute yang bakal dilaluinya pun tidak selalu sama setiap tahunnya, tergantung kehendak sang dewa.
"Kadang-kadang sampai ke Pengastulan (Seririt), Sawan, Air Saneh, Singaraja, Belagung, dan Segara. Itu tergantung permintaan beliau," tutur Bandesa. Ke mana saja ia bergerak diikuti oleh penduduk desa.
Pelancongan bisa saja berlangsung hingga malam hari kalau rute yang diwangsitkan sangat jauh. Pengusungnya tetap orang-orang itu juga, dan tidak diperkenankan diganti orang lain selain anggota pemikul.
Pelancongan bukaka celeng akan berakhir di Pura Pasek. Di pura subak ini para pengusung kembali diperciki tirta. Mereka pun kembali sadarkan diri. Sudah pasti, terkurasnya tenaga selama pelancongan baru mereka rasakan. Tubuh pun menjadi lemas karena kenyel (capek).
Merah Putih Mengusir Musuh
Upacara ngusabha bukaka dulunya berakar dari kegiatan latihan perang yang dilakukan warga Sangsit dalam upaya menghadapi serangan dari luar. Menurut Bandesa, pada abad ke-15, kira-kira tahun 1468 datang Batara Sakti Bawu Rauh atau Dang Hyang Dwijendera di Bali.
Perjalanannya sampai di Dusun Beji, Sangsit. Sang Batara disambut gembira masyarakat dan dibuatkan pelinggih (tempat persemayaman) yang diberi nama Rura Kawuh.
Pura yang menghadap ke Timur ini kemudian beberapa kali berubah nama jadi Pura Medulu Kawuh, Pura Wong Aya, lalu terakhir (hingga sekarang) bernama Pura Pasopati.
Suatu ketika sang Batara hendak kesah (pergi) ke Batur (Gunung Agung). Dalam perjalanannya, tiba-tiba saja sekar (bunga) yang dibawanya jatuh di satu tempat. la pun turun untuk mengambilnya kembali. Masyarakat di sana menyambutnya dan membuatkan sebangun pura untuknya.
Kemudian, ketika hendak melanjutkan pengembaraan ke Gunung Agung, ia memberi nama pura itu, Pura Gunung Sekar. Sampai sekarang nama pura ini tak berubah.
Dari Batur, sang Batara memerintahkan rakyat Sangsit melakukan latihan perang untuk menghadapi kemungkinan datangnya penjajah yang bakal mengusik ketenteraman mereka.
Diperintahkan pula agar latihan dilakukan setiap tahun, yang temyata mampu membangkitkan jiwa kepatriotan warga Sangsit.
"Di sinilah satu-satunya daerah yang paling antikolonial Belanda," tutur Bandesa.
Selanjutnya kegiatan rutin ini berkembang menjadi bentuk upacara bukaka ayam dan celeng hingga sekarang. Untuk mengungkapkan keberanian atas kebenaran mereka waktu itu, . seluruh peserta ngusabha bukaka celeng mesti berpakaian wama merah (berani) dan putih (suci atau benar).
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1992)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR