Advertorial
Intisari-Online.com - Satu helikopter TNI AD jenis Bell-412 melintas di udara lalu berputar-putar di atas lapangan sepak bola yang berada di tengah-tengah markas Divisi Infanteri I, Cilodong, Jawa Barat.
Heli yang diterbangkan oleh dua pilot dari Pusat Penerbangan Angkatan Darat (Puspenerbad) yang berpangkalan di Lapangan Udara, Pondok Cabe, Tangerang Selatan itu tampak melakukan hovering seperti mau mendarat.
Tapi ternyata tidak. Tampak tali terlempar dari pintu heli disusul meluncurnya sejumlah pasukan elit Tontaipur bersenjata dan gear tempur lengkap.
Semua menenteng senapan serbu dan pistol serta pisau komando sekaligus pisau lempar di pinggangnya.
(Baca juga: Joachim Peiper, Pembantai Pasukan Sekutu yang Setelah Diadili Justru Lolos dari Hukuman Mati)
Sejumlah magasin peluru tampak memenuhi kantong rompi pertanda bahwa mereka akan melakukan misi tempur jangka panjang.
Pasukan Tontaipur yang turun dari heli itu kemudian berkumpul dalam formasi siaga dan dengan cepat bergerak lalu menyelinap masuk ke hutan yang berada di lingkungan markas Divisi Infanteri I yang biasa digunakan untuk latihan tempur hutan (jungle warfare).
Di hutan yang masih merupakan rawa-rawa para pasukan Tontaipur yang berjalan tanpa suara, berseragam hitam-hitam, memakai helem tempur khusus dilengkapi kaca mata gogle, semua wajah di cat, dan mereka berjalan secara mengendap dengan senapan serbu pada posisi menyapu sasaran sekitar serta siap bidik.
Karena merupakan pasukan elit yang sedang dalam misi melaksanakan operasi pembebasan sandera, semua personel Tontaipur tanpa menggunakan nama dan pangkat.
Dalam proses pengendapan di tengah hutan belantara menuju sasaran itu pasukan Tontaipur sempat terlibat pertempuran dengan pasukan yang menghadang .
Tapi adegan tembak-menembak belum menggunakan peluru tajam dan hanya disimulasikan menggunakan suara mulut berbunyi ‘’tam!..tam!...tam!...’’
Ya, kalau ada istilah ‘perang mulut’, mungkin seperti inilah situasi yang sebenarnya.
Namun adegan peperangan itu berlangsung serius sejumlah personel Tontaipur tampak bertiarap lalu mengarahkan senapan serbu disusul bunyi, ‘’tam!..tam!..tam!..’’ dari mulutnya.
(Baca juga: Soal Kegigihan, Baiknya Kita Berkaca pada Pasukan Gunung Nazi Ini yang Terus Bertempur Walau Tertekan)
‘’Musuh kena! ...Sudah mati semua...!’’ teriak komandan .
Adegan perang dalam hutan seolah dihadang para gerilyawan penyandera ternyata masih simulasi.
Regu pasukan elit Tontaipur terus bergerak cepat dan kemudian berkumpul di suatu tempat untuk melakukan briefing yang dilakukan komandan regu.
Briefing sebelum menyerbu markas tempat sandera disekap disimulasikan di atas tanah yang berdebu.
Briefing mencakup peta markas penyandera, teknis pembebasan sandera, cara membawa sandera untuk dibawa menuju heli atau kapal pengangkut, teknik perlindungan personel, ketepatan waktu, dan lainnya.
Dalam simulasi operasi pembebasan di markas penyandera yang dibuat dari tumpukkan ban bekas truk militer itulah peluru tajam akan digunakan.
Semua senjata baik laras panjang maupun pistol diperiksa dan kemudian dikokang.
Pasukan pun bergerak secara cermat menuju rumah ban untuk melaksanakan simulasi operasi pembebasan sandera menggunakan peluru sungguhan itu.
(Baca juga: Berkat Tank-tank Palsu, Pasukan Lapis Baja Inggris Berhasil Dihancurkan Nazi yang ‘Lebih Lemah’)
Operasi pembebasan sandera diawali dengan pergerakan cepat pasukan Tontaipur yang terbagi ke dalam dua tim secara cermat dan senyap menuju rumah ban dalam posisi senapan serbu siap tembak.
Begitu mendekati rumah ban, bahan peledak sebagai efek pengejut diledakkan, tim pertama langsung mendobrak pintu sambil melepaskan tembakan gencar sementara tim kedua melakukan perlindungan sekaligus menjadi tim sapu bersih.
Suara tembakan dari senapan serbu dan pistol terdengar begitu keras disusul kepulan asap berbau mesiu dari ruangan-ruangan rumah ban.
Para penyandera disimulasikan dalam gambar berupa orang bersenjata sedangkan korban sandera berupa gambar orang-orang ditutup mukanya.
Setelah terjadi kontak senjata sengit sekitar lima menit dalam rumah ban, para penyandera dinyatakan bisa dilumpuhkan dan korban penyanderaan bisa diselamatkan.
Itulah gambaran atau simulasi jika pasukan elit TNI melancarkan operasi pembebasan sandera yang berlangsung di dalam hutan.
Hanya saja untuk beroperasi menuju lokasi penyanderaan pasukan elit seperti Tontaipur, Penanggulan Teror (Gultor Kopassus), Datasemen Barvo (Den Bravo) TNI AU, Datasemen Jalamangkara ( Denjaka) Korps Marinir, Komando Pasukan Katak ( Kopaska) TNI AL, dan lainnya masih membutuhkan dukungan dari pasukan reguler.
Dukungan operasi tempur bagi pasukan khusus itu bisa berupa pesawat tempur, pesawat transpor, kapal perang, UAV, logistik, kehadiran personel pasukan pendukung, dan lainnya.
(Baca juga: Jauh-Jauh ke Sulawesi, Pasukan RPKAD Terpaksa Menerima Kenyataan Pahit Harus Bertempur Melawan Rekan Sendiri)
Intinya semua operasi pasukan khusus tetap membutuhkan peran pasukan reguler TNI dari berbagai satuan dan juga dukungan dari personel serta alutsista yang dimiliki oleh Polri.
Pasukan khusus TNI memang dicetak untuk mampu bertempur dalam kondisi apapun dan dimana pun.
Mereka harus mampu menghadapi semua tantangan sesuai dengan ketrampilan yang pernah dilatihkan.
Namun begitu mereka tetap membutuhkan dukungan dari pasukan reguler karena mereka sesungguhnya bukan manusia super tapi personel yang terlatih baik.
Yang jelas mereka secara diam-diam telah diturunkan di garis depan sebelum peperangan yang sesungguhnya dimulai.
Itulah kemampuan utama mereka seperti telah dibuktikan oleh pasukan khusus TNI dari Kopassus dan Tontaipur yang sukses membebaskan sandera yang ditawan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua pada Jumat (17/11/2017).