Advertorial

Salah Kaprah Penanganan Gigitan Ular Berbisa, Ini Yang Benar Menurut Dokter

Yoyok Prima Maulana

Penulis

Tindakan mengikat di area luka rawan menghadirkan amputasi.
Tindakan mengikat di area luka rawan menghadirkan amputasi.

Intisari-online.com - Perawatan tepat saat kondisi darurat akan menentukan kesintasan seseorang melewati sebuah kecelakaan atau kejadian fatal, tak terkecuali perawatan usai mengalami gigitan ular.

Pakar toksikologi dan bisa ular DR. dr. Tri Maharani, M.Si SP.EM mengatakan, ada pemahaman masyarakat soal penanganan pertama ketika mengalami gigitan ular yang salah besar.

Umumnya, tindakan pertama dilakukan dengan mengikat daerah disekitar area gigitan ular. Tujuannya adalah untuk menghentikan pergerakan bisa ular agar tak menyebar ke seluruh tubuh.

Tindakan lainnya yang sering dilakukan adalah membuat sayatan di dearah gigitan untuk mengeluarkan darah. Tujuanya pun sama, menghindari penyebaran bisa ular.

Menurut Tri, kedua tindakan tersebut salah besar, tidak membantu sama sekali. Bisa ular akan tetap menyebar ke bagian tubuh lainnya.

“Kalau diikat hanya membuat kondisi seolah-olah bisa ular berhenti. Padahal yang diikat adalah pembuluh darah. Akibatnya pembekuan darah hingga amputasi,” kata Tri.

BACA JUGA:Catat! Ini Kategori Gawat Darurat Versi BPJS Kesehatan

Tri menjelaskan, cara penanganan yang tepat adalah dengan membuat bagian tubuh yang terkena gigitan tak bergerak.

Caranya sebenarnya tak sulit. Anggota tubuh dihimpit dengan kayu, bambu, atau kardus layaknya orang patah tulang.

“Betul-betul tidak bergerak sehingga bisa ular hanya ada di tempat gigitan, tidak menyebar ke seluruh tubuh,” kata Tri.

Bila bagian yang digigit ular telah berhasil diimobilisasi, waktu yang dimiliki untuk pergi ke rumah sakit atau klinik guna mendapatkan perawatan dan antibisa ular sebenarnya cukup lama.

"Anak teman saya di Papua dia kena neurotoksin. Karena tinggal di base camp di atas gunung untuk turun ke Puskesmas butuh 2 hari. Anak ini selamat dengan imobilisasi. Masih hidup sampai sekarang,” ujar Tri.

Tri menambahkan, bila klinik atau tempat kesehatan tak mengetahui jenis bisa ular, siapa pun bisa menghubungi dirinya diRemote Envenomation Consultan Service (RECS) melalui blog recsindonesia.blogspot.com atau melalui pesan WhatsApp di nomor 085334030409.

Kesalahan penangan pertama terjadi pada Ananda Yue Riastanto (8) yang digigit ular weling (Bungarus candidus) pada 5 Januari 2017 lalu.

Anak asal Peduhukan Dhisil, Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Khusus Yogyakarta itu diberikan pertolongan pertama dengan mengikat bagian yang tergigit.

Beruntung, dengan jenis bisa neurotoksin, Ananda masih selamat dari kematian meskipun mengalami enselofati yang berakibat pada kelumpuhan dan ketidakmampuan bicara.

“Neurotoksin memang berakibat lebih fatal karena bisa menimbulkan kelumpuhan otot pernafasan yang berakibat kematian. Kalau hemotoksin kan racunnya menyerang, membuat pendarahan, jadi matinya itu lama. Kalau neurotoksin matinya cepat,” ucap Tri.

Tri menuturkan, saat seseorang dengan luka gigitan ular, tenaga medis harus dapat mengatur jalannya pernafasan. Pasien harus segera dibawa ke inkubasi, dipasang fentilator dan dibantu dengan pernapasan buatan. Jika terjadi gagal jatung, tenaga medis dapat melakukan pijat jantung.

BACA JUGA:Satu Bulan Sebelum Serangan Jantung, Tubuh Memberikan 6 Tanda Ini

Artikel ini pernah tayang di Kompas.com dengan judul "Bagaimana Caranya agar Tidak Mati setelah Digigit Ular Berbisa?"

Artikel Terkait